Gol Bunuh Diri Politik: OTT KPK Immanuel Ebenezer, Dari Relawan Jokowi ke Simbol Kemunafikan
Gol Bunuh Diri Politik, OTT KPK Immanuel Ebenezer, Dari Relawan Jokowi, ke Simbol Kemunafikan

detakpolitik.com, Jakarta - Ada suatu ironi yang tajam terasa di balik moralitas terguncang. Immanuel Ebenezer dikenal akrab sebagai Noel yang sebelumnya didongkrak sebagai sosok pembela buruh, kini malah menjadi simbol kontra narasi: seorang pejabat tinggi yang diduga melakukan tindakan pemerasan terhadap perusahaan dalam pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Bayangkan, seseorang yang paling keras berbicara soal keadilan pekerja bisa jatuh terjerat dilema moral paling rendah sebuah “gol bunuh diri” tak terduga dalam pasang surut politik.
Kita ingat bagaimana ia berpura-pura mendengar keluhan buruh yang ijazahnya ditahan, pekerja yang magang tak sesuai aturan. Ia menggedor pintu-pintu media publik sebagai “pahlawan buruh”, menjanjikan keadilan. Tapi kini, justru dari kamar kantornya yang megah, ia ditangkap dalam OTT KPK diciduk di tengah malam bersama 10 orang lainnya, dalam dugaan pemerasan perusahaan pemegang sertifikat K3. Di sinilah letak paling getir: seorang aktivis, yang harusnya membela suara tertindas, justru digugat melakukan praktik korup ketika yang seharusnya dilindungi menjadi korban dari kejahatan sistemik yang dilakukan oleh yang dipercayakan untuk melindungi mereka. Ini bukan sekadar kesalahan moral, melainkan pengkhianatan terhadap idealisme dan retorika yang pernah digaungkan.
Seolah tanpa filter, publik bereaksi: "Munafik!" bukan sekadar hujatan kosong, melainkan parceiro kongkret terhadap reputasi yang selama ini dibangun. Siapa yang bisa dengan mudah menerima bahwa figur yang pernah menyemangati persatuan buruh dan menegakkan hak-hak buruh, tiba-tiba tertangkap basah, dalam praktik paling kejam: menyalahgunakan wewenang untuk keuntungan pribadi. Dari relawan Jokowi Mania hingga Komisaris Utama BUMN, hingga Wamenaker perjalanan karier Noel membuka kemungkinan dia bisa memilih jalan ke puncak, namun juga memungut banyak pelajaran moral untuk kemudian diabaikan. Ia telah menyandarkan citra sosial di atas idealisme, membuangnya begitu saja ketika tergoda bisikan uang dan kekuasaan.
Ketika OTT terjadi, kritikus melihatnya seperti gol bunuh diri politik sebuah kesalahan fatal yang menggagalkan ambisi sendiri. Kisahnya kini menjadi cerita tragis tentang ambisi yang dibalut kejahatan moral. Nyaris semua analis sepakat bahwa ini adalah momen paling brutal: mantan penyidik KPK menyebut ini sebagai OTT terbesar sepanjang periode ini. Tidak hanya digunakan untuk menjatuhkan reputasi Noel, tetapi juga membuka kacamata publik terhadap klaim sosialisme yang dia usung sebuah bendera yang ternyata tipis dan mudah dipatahkan jika diuji oleh godaan materi.
Secara terang-terangan, KSPI dan Partai Buruh menyatakan keprihatinan bahkan sadar bahwa pejabat atau aktivis pun bisa tergoda uang ketika menghadapi pelanggaran perusahaan besar. Namun keprihatinan itu juga beraroma pahit, miris bahwa orang yang pernah bertarung untuk buruh, kini masuk daftar pelaku kriminal. Mereka mendorong agar proses hukum tetap berjalan, agar tidak terjebak retorika kosong. Sunarno dari KSPSI menyebut ini sebagai tamparan keras bagi rezim yang menjanjikan janji-janji manis bagi rakyat kecil betapa mudahnya janji itu hancur ketika moral telah rusak.
Sorotan media semakin tajam ketika publik menilik rekam jejak kontroversial Noel: komentar kontroversial soal tren #KaburAjaDulu yang ia sindir tanpa empati, menyuruh buruh “kabur saja” tanpa kembali seolah mempromosikan hancurnya kepedulian nasionalisme; janji kosong kepada buruh Sritex yang terdampak PHK besar sebuah retorika palsu yang sama menggigitnya dengan dugaan scratch kriminil yang menimpanya kini.
Kini nyata sekali bagaimana serangkaian tindakan impulsif dan gagasan dangkal bisa menghantam citra dan kepercayaan publik. Publik merasa sudah dikhianati: seorang yang berjanji berjuang, ternyata lebih mudah didorong pada pintu kongkalingkong. Tidak ada duduk di atas moral, hanya tawaran uang dan permainan kekuasaan licik. Ia tidak hanya menuai ejekan; ia menuai penghakiman keras bahwa dialah contoh paling tragis dari elit yang munafik, memanfaatkan identitas sebagai “pejuang rakyat” untuk kemudian mengikis kepercayaan sosial.
Sehari setelah OTT, Istana menanggapi dengan nada sanksi moral dan menunggu proses hukum Presiden Prabowo secara tersirat mengungkapkan kekecewaan, sedangkan pejabat Istana menekankan betapa pentingnya amanah dijalankan secara hati-hati. Namun publik merasakan ini terlalu lambat bahwa simbol yang dibentuk selama berbulan-bulan, diruntuhkan oleh satu malam keserakahan.
Siapa pun kini bisa membaca narasi ini sebagai catatan sejarah baru: realita menyayat bahwa idealisme bisa jadi masker yang ditanggalkan saat godaan materi datang. Realita bahwa sistem pemerintahan dan hubungan patron-klien masih bertasbih dalam dominasi elite, dan ketika idealis menjadi aparat, ia perlahan bisa menjadi bagian dari dominasi itu karena tanpa moral dan keteguhan, ia hanya akan menjadi boneka kekuasaan besar.
Kritik publik terhadap Immanuel Ebenezer bukan semata soal korupsi tapi soal pengkhianatan atas simbol harapan. Ia mengaku sebagai suara buruh, menjadi wajah perjuangan sosial, kemudian malah dilapisi tudingan kriminal. Legitimasi moralnya sekarang hanyalah kekosongan kosmetik. Ia bukan sekadar jatuh moral; ia menjadi contoh betapa mudahnya seorang idealis berubah menjadi oportunis. Bukankah ini paling ironis? Bukankah ini menyakitkan? (dedi/dp)
Apa Reaksi Anda?






