Ini Fitnah Politik!.. Jokowi Dituduh Miliki Tambang Raja Ampat, Padahal Izin Sebelum Dia Jadi Presiden!

Ini Fitnah Politik!.. Jokowi Dituduh Miliki Tambang Raja Ampat, Padahal Izin Sebelum Dia Jadi Presiden!

Ini Fitnah Politik!.. Jokowi Dituduh Miliki Tambang Raja Ampat, Padahal Izin Sebelum Dia Jadi Presiden!

detakpolitik.com, JAKARTA - Isu tambang di Raja Ampat yang kembali mencuat ke permukaan, kini diwarnai aroma fitnah yang semakin tidak masuk akal: tuduhan bahwa tambang tersebut adalah milik Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana. Sebuah narasi liar yang bukan hanya keji, tapi juga sembrono seolah nalar publik bisa begitu saja dibelokkan dengan premis-premis absurd yang tak punya dasar hukum, data, atau akal sehat.

Mari kita telanjangi kebenaran yang dikaburkan. Izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan Raja Ampat sudah ada sebelum Jokowi menjadi Presiden. Fakta ini bukan rahasia negara. Dalam sejumlah catatan administratif, izin-izin tambang tersebut telah diterbitkan pada era pemerintahan sebelum Jokowi yakni di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Artinya, tidak ada korelasi langsung antara Presiden Jokowi dan pengeluaran izin tersebut. Lalu mengapa nama Jokowi dan Iriana dimasukkan dalam pusaran isu ini? Jawabannya sederhana: ada agenda politis yang licik di balik fitnah ini.

Tuduhan semacam ini adalah bagian dari pola lama yang terus dipakai oleh lawan politik yang kehabisan amunisi gagasan. Mereka tahu Jokowi sudah melewati satu dekade pemerintahan dengan rekam jejak pembangunan yang konkret dari infrastruktur, pendidikan, digitalisasi, hingga transformasi energi maka cara satu-satunya untuk menjatuhkannya adalah lewat narasi-narasi gelap, insinuasi, dan pencemaran nama baik. Raja Ampat yang selama ini dikenal sebagai surga konservasi dan keindahan laut, kini dijadikan alat propaganda oleh kelompok-kelompok tertentu yang tak pernah benar-benar peduli pada lingkungan maupun hak-hak masyarakat adat.

Justru pendekatan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang mengedepankan penyelesaian berbasis adat Papua menunjukkan bahwa pemerintah tidak antikritik. Ketika masyarakat bersuara, negara hadir. Ketika ada indikasi pelanggaran atau keresahan, negara tidak menutup mata. Bahkan Bareskrim Polri sudah membuka penyelidikan atas kasus ini, yang menandakan bahwa proses hukum tetap berjalan tanpa intervensi dari kekuasaan mana pun. Di sinilah letak perbedaannya: pemerintah Jokowi tidak defensif terhadap kritik, tapi objektif terhadap bukti.

Dan sangat penting untuk digarisbawahi: penyelidikan bukanlah penetapan tersangka, apalagi vonis bersalah. Maka menyebarkan tuduhan bahwa tambang itu milik Jokowi dan Iriana sebelum ada satu butir pun bukti adalah perbuatan jahat. Bukan hanya keji terhadap pribadi Presiden dan keluarganya, tapi juga penghinaan terhadap akal sehat publik. Siapa yang diuntungkan dari kekacauan opini seperti ini? Bukan rakyat Papua, bukan masyarakat Raja Ampat, tapi mereka yang hidup dari fitnah dan perpecahan. Mereka yang berharap kekuasaan bisa direbut bukan lewat konstitusi, tapi lewat pembusukan moral.

Kita harus jujur bahwa selama bertahun-tahun, persoalan izin tambang di Indonesia adalah warisan sejarah yang panjang dan kompleks. Bukan hanya soal siapa yang mengeluarkan izin, tapi juga bagaimana izin-izin itu dulu diberikan tanpa kajian lingkungan yang mendalam, tanpa keterlibatan masyarakat lokal secara bermakna. Jokowi tidak menutupi itu. Justru dengan terbitnya Perpres tentang Penataan Lahan dan pembentukan Satgas sejak Januari, pemerintah secara aktif melakukan pembenahan bukan pembiaran.

Jadi jika hari ini muncul lagi tudingan soal tambang, yang harus diuji adalah transparansi izinnya, legalitasnya, dan keberpihakannya terhadap lingkungan serta masyarakat adat. Tapi jika yang dilontarkan adalah kabar burung bahwa “itu tambang milik Jokowi dan Iriana”, maka kita sudah masuk ke wilayah delusi politik. Publik harus cerdas membedakan mana fakta dan mana fitnah. Jangan sampai kegilaan informasi palsu meracuni ruang berpikir kita, apalagi sampai memecah belah bangsa dengan membenturkan presiden dengan rakyat Papua, hanya karena motif kekuasaan yang dibungkus kepalsuan moral.

Bahlil Lahadalia benar: mari kita libatkan kearifan lokal, tokoh adat, dan pendekatan kebudayaan Papua dalam penyelesaian masalah ini. Tapi dalam hal tuduhan liar terhadap Presiden, kita juga harus tegas: fitnah adalah musuh demokrasi. Dan mereka yang menjadikannya senjata politik, adalah para pecundang yang tak layak bicara atas nama rakyat.

(Widodo/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow