Prabowo Tumbang di Hadapan Koruptor: Persatuan atau Pengkhianatan? Amnesti Prabowo untuk Koruptor Bikin Janji Kampanye Ambruk
Persatuan atau Pengkhianatan? Amnesti Prabowo untuk Koruptor Bikin Janji Kampanye Ambruk

detakpolitik.com, Jakarta - Ketika kampanye pemilu yang lalu masih segar dalam ingatan, masyarakat tentu masih mengingat lantang dan gagahnya Prabowo Subianto menyampaikan janji politiknya: "Koruptor harus diasingkan ke Pulau Nusa Kambangan, diberi efek jera, biar tahu rasanya mengkhianati bangsa." Janji itu bukan sekadar rangkaian kata, tetapi telah menjadi mantra yang mengundang tepuk tangan, yang menggugah semangat publik bahwa suatu hari hukum di negeri ini akan tegak tanpa pandang bulu. Prabowo, dengan sorot mata tegas dan suara beratnya, kala itu membangun citra sebagai pemimpin yang akan menghapus budaya kompromi terhadap korupsi, sebuah penyakit yang menggerogoti tulang sumsum republik ini sejak puluhan tahun.
Namun, sejarah politik negeri ini terlalu sering menunjukkan bahwa janji adalah mata uang yang nilainya cepat terdepresiasi begitu kurs kekuasaan berubah. Janji yang digemakan di panggung kampanye sering kali layu sebelum berkembang di taman kebijakan. Dan hari ini, publik dikejutkan oleh fakta yang membalikkan logika dari retorika itu sendiri: Prabowo memberi amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong.
Keduanya bukanlah figur sembarangan. Hasto adalah Sekretaris Jenderal partai politik besar, PDIP, yang terjerat kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan terkait Harun Masiku nama yang sudah lama menjadi simbol misteri dalam penegakan hukum. Sementara Tom Lembong, mantan menteri yang di mata publik punya reputasi profesional, juga tidak lepas dari vonis pengadilan yang seharusnya menjadi pelajaran bahwa hukum itu final, bukan bahan tukar-menukar.
Yang lebih menyakitkan bagi publik bukan semata-mata siapa yang diampuni, tetapi pesan moral yang lahir dari keputusan ini. Bagaimana mungkin seorang presiden yang pernah mengumandangkan "koruptor harus diasingkan" justru mengeluarkan mereka dari jeratan hukum, memberikan pengampunan dengan alasan persatuan dan rekonsiliasi? Bukankah persatuan sejati lahir dari keadilan yang ditegakkan, bukan dari keadilan yang ditawar?
Masyarakat yang dulu percaya pada janji “Nusa Kambangan” kini merasa dikhianati. Mereka bertanya-tanya apakah pulau pengasingan itu kini berubah fungsi menjadi pulau kenangan tempat menyimpan janji-janji politik yang tak pernah ditepati. Tindakan ini bukan sekadar kebijakan hukum, melainkan sinyal politik yang sarat tafsir: apakah pengampunan ini adalah bentuk balas budi politik, upaya merangkul kekuatan partai besar, atau sekadar kebijakan populis menjelang peringatan kemerdekaan?
Kritik pun bermunculan dari berbagai kalangan. Akademisi, praktisi hukum, hingga aktivis antikorupsi mengingatkan bahwa memberi amnesti dan abolisi untuk kasus yang berkaitan dengan korupsi berpotensi menciptakan preseden buruk. KPK yang selama ini berjuang mati-matian mengungkap kasus besar, bisa merasa seperti bekerja di treadmill berlari kencang tetapi tak kemana-mana. Apa gunanya penyidikan panjang, penahanan, dan persidangan yang melelahkan, jika pada akhirnya ujungnya adalah tanda tangan di atas kertas pengampunan presiden?
Di sisi lain, tak bisa dihindari perbandingan dengan Presiden Joko Widodo. Jokowi, dalam dua periode kepemimpinannya, tak pernah memberikan amnesti atau abolisi kepada terpidana korupsi. Tidak ada rekayasa politik untuk “menghapus” hukuman demi alasan persatuan yang kabur definisinya. Jokowi justru berkali-kali menegaskan bahwa korupsi adalah musuh bersama, dan penegak hukum diberi ruang seluas-luasnya untuk menuntaskan prosesnya.
Ingatlah kasus-kasus besar yang meledak di era Jokowi: dari e-KTP hingga suap berbagai proyek infrastruktur, semuanya dibiarkan berjalan sesuai koridor hukum. Jokowi memilih menjaga jarak dari intervensi, dan publik pun menghargai itu. Bahkan ketika ada tokoh-tokoh partai pendukungnya yang terjerat, Jokowi tidak mengulurkan “tangan pengampunan” yang bisa mengaburkan makna keadilan. Ia sadar, rekonsiliasi sejati bukan dengan menutup buku perkara, melainkan dengan memastikan setiap bab dibaca tuntas oleh hukum.
Maka, ketika Prabowo mengambil langkah berbeda langkah yang membuka pintu keluar dari jeruji bagi dua nama besar yang telah divonis reaksi publik menjadi wajar jika memuncak. Ini bukan hanya soal perbedaan gaya memimpin, tetapi soal kontradiksi antara kata dan tindakan. Jokowi mungkin dikritik dalam banyak aspek, tetapi dalam hal menjaga proses hukum bagi koruptor, ia memiliki konsistensi yang patut diakui.
Apalagi, langkah Prabowo ini dilakukan dalam waktu yang sangat strategis: menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Seakan-akan, di balik retorika persatuan nasional, tersembunyi kalkulasi politik yang lebih besar. Di tengah persaingan dan manuver kekuatan politik pasca-pemilu, menghapus hukuman dua tokoh dari kubu berbeda bisa saja dibaca sebagai strategi untuk mengamankan dukungan atau mencairkan ketegangan antarpartai. Tetapi jika politik persatuan dibangun di atas kompromi terhadap korupsi, maka yang terjadi bukanlah rekonsiliasi, melainkan pembusukan nilai keadilan.
Dalam negara hukum, keadilan adalah fondasi yang tak boleh diperdagangkan. Begitu keadilan bisa dinegosiasikan, maka hukum kehilangan taringnya dan rakyat kehilangan pegangan moral dari pemimpinnya. Keputusan Prabowo memberi amnesti dan abolisi ini adalah pukulan telak bagi semangat pemberantasan korupsi yang dulu ia janjikan. Pulau Nusa Kambangan kini tinggal cerita, dan narasi anti-korupsi berganti menjadi narasi pengampunan.
Protes publik seharusnya tidak berhenti pada kekecewaan moral. Masyarakat sipil, akademisi, mahasiswa, dan media harus terus menagih komitmen yang diucapkan di masa kampanye. Mereka harus mengingatkan bahwa jabatan presiden bukan hanya kursi kekuasaan, tetapi amanah yang dibangun dari janji-janji yang disetujui rakyat. Mengingkari janji itu sama saja mengingkari mandat yang telah diberikan.
Di tengah sorotan ini, sikap Jokowi yang dulu konsisten menjaga jarak dari intervensi hukum menjadi cermin yang memalukan bagi langkah Prabowo. Jokowi mungkin tak sempurna, tetapi ia memahami bahwa membiarkan korupsi mendapat pengampunan adalah merusak sendi negara. Ia memilih bersikap nasional, bukan sekadar politis. Ia mengerti bahwa menjaga kepercayaan publik jauh lebih penting daripada membangun aliansi politik jangka pendek.
Kini, rakyat berhak bertanya: apakah kita sedang menuju era baru di mana janji hanya menjadi dekorasi kampanye, dan keadilan hanyalah aksesoris yang bisa dilepas kapan saja? Apakah pengampunan bagi koruptor akan menjadi tradisi baru setiap kali pemerintah ingin menunjukkan “wajah ramah” politiknya? Dan yang paling penting: siapakah pemimpin yang benar-benar menempatkan bangsa di atas kepentingan pribadi atau partainya?
Jawaban atas pertanyaan itu tidak hanya akan menentukan reputasi Prabowo, tetapi juga arah perjalanan republik ini. Sebab, sekali kita menerima bahwa koruptor bisa diampuni atas nama persatuan, kita sedang membuka pintu bagi pengkhianatan yang lebih besar di masa depan. Dan itu adalah harga yang terlalu mahal untuk dibayar oleh bangsa yang sedang berjuang keluar dari cengkeraman korupsi. (dio/dp)
Apa Reaksi Anda?






