Masih Dibangun, Rumah Pensiun Jokowi Sudah Dituding Macam-macam
mah Pensiun Jokowi, Politik, Jokowi

detakpolotik.com, JAKARTA - Delapan bulan sudah berlalu sejak Joko Widodo, Presiden ketujuh Republik Indonesia, resmi meletakkan jabatannya. Namun ternyata, meski masa pengabdiannya selama satu dekade telah selesai, penguntitan terhadap kehidupannya belum juga reda. Rumah pensiun yang sejatinya menjadi hak dan fasilitas negara bagi mantan kepala negara kini malah menjadi bahan gorengan politik murahan. Sebagian pihak seolah menyulut aroma kecurigaan: rumahnya belum jadi, ditutupi pagar tinggi, ada apa ini? Seakan-akan proses pembangunan sebuah rumah pribadi bisa menjadi skandal nasional yang perlu dibedah sekujur atap dan pondasinya.
Jokowi sendiri sudah menjelaskan. Ia hanya menerima fasilitas sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Ia tidak terlibat langsung dalam urusan teknis pembangunan, karena itu kewenangan penuh Sekretariat Negara. Ia pun belum menempati rumah itu, belum tahu akan digunakan untuk apa, bahkan belum menerima serah terima. Tapi tetap saja, kecurigaan dibangkitkan. Dikasih rumah pensiun dibilang korupsi halus, tidak dikasih nanti dibilang negara tidak menghargai mantan presiden.
Lucunya, narasi yang didorong bukan soal substansi: bukan tentang transparansi proyek dari sisi anggaran negara (yang justru terbuka di dokumen negara), bukan pula soal efektivitas program pelayanan purnatugas presiden. Yang jadi bahan omongan malah pagar proyek yang setinggi dua meter. Apakah rumah-rumah lain tidak memakai pagar seng tinggi saat dibangun? Apakah proyek rumah dinas pejabat lain dikerjakan dalam kondisi terbuka bagi masyarakat untuk memantau tukang mengaduk semen?
Apa sebenarnya yang membuat rumah pensiun Jokowi ini diangkat jadi isu publik? Mari kita bicara soal urgensinya.
Pertama, tidak ada yang luar biasa dari pembangunan rumah pensiun presiden. Itu adalah hak yang diberikan negara sebagai penghargaan atas pengabdian seorang kepala negara selama menjabat. Ini bukan hadiah misterius, bukan sogokan, bukan bentuk pamrih politik. Ini adalah mekanisme formal yang telah diatur melalui Keppres dan mekanisme anggaran. Kalau yang dipersoalkan adalah anggarannya, mari buka mata: rumah dinas menteri, rumah dinas ketua lembaga negara, bahkan rumah dinas kepala daerah sering kali dibangun dengan biaya yang jauh lebih besar. Tapi kenapa hanya rumah pensiun Jokowi yang dipermasalahkan?
Kedua, pembahasan soal rumah pensiun ini sengaja digiring ke arah kecurigaan politis oleh pihak-pihak yang belum rela melepaskan Jokowi dari garis bidikan mereka. Padahal Jokowi sudah tidak lagi punya jabatan formal. Namun nampaknya, magnet pengaruh Jokowi masih terlalu besar untuk diabaikan. Maka digunakanlah isu-isu remeh yang dibungkus dengan sentimen dan prasangka agar tetap bisa menjadikan Jokowi sebagai objek serangan.
Ketiga, keheningan pembangunan ini seolah dipelintir menjadi sesuatu yang ‘mencurigakan’. Padahal Jokowi sendiri mengatakan rumah itu masih dalam proses pengerjaan. Bahkan belum diserahterimakan. Lantas apa yang mencurigakan? Proyek belum jadi ya wajar tidak dipakai. Mau dibuka untuk umum pun, tentu tidak bisa kalau rumahnya belum rampung. Ingin tahu isi rumahnya? Apa perlu rencana interiornya diumumkan ke publik hanya karena yang akan menempati pernah jadi presiden?
Mereka yang mendorong isu ini tidak sedang mencari kejelasan, tapi sedang membentuk opini. Mereka ingin menyampaikan bahwa Jokowi, bahkan setelah lengser pun, masih bisa menjadi sasaran tembak yang ‘legal’ untuk dihujat. Mereka ingin memberi kesan bahwa Jokowi menyembunyikan sesuatu, padahal yang dilakukan hanyalah menunggu rumahnya selesai dibangun.
Sungguh ironis. Dalam sebuah republik yang sedang bergerak maju, justru waktu dan perhatian publik dibajak oleh polemik soal rumah pensiun. Apakah ini bentuk frustasi dari kelompok yang dulu gagal menumbangkan Jokowi lewat isu ijazah palsu, kesehatan, utang negara, dan beragam fitnah lainnya? Kini, setelah tidak lagi punya kekuasaan formal, mereka masih saja memburu bayang-bayangnya di balik tembok pagar rumah pribadi.
Yang lebih menyesakkan adalah ketika rumah ini, yang notabene berada di wilayah asal Jokowi sendiri, dianggap sebagai simbol keistimewaan baru. Padahal Colomadu bukan kawasan elite Menteng atau SCBD. Itu kampung kelahiran Jokowi, tanah kelahirannya. Kalau seorang presiden saja tidak boleh pensiun di tanah asalnya, lalu siapa yang boleh?
Kritik itu perlu. Pengawasan itu penting. Tapi bukan dengan menciptakan persepsi jahat atas sesuatu yang biasa. Ini bukan hanya tentang rumah. Ini tentang mentalitas publik kita yang mudah digiring untuk mencurigai sesuatu hanya karena disuntik oleh framing dan narasi yang digarap oleh pihak-pihak yang masih dendam.
Publik layak tahu bahwa rumah pensiun presiden bukanlah ‘hadiah pribadi’ dari kroni-kroni oligarki seperti yang dibayangkan sebagian kalangan. Pembangunan ini dilakukan melalui mekanisme resmi, dari dana APBN yang diaudit, direncanakan sejak lama, dan diperuntukkan bagi siapa pun yang menjabat sebagai presiden—bukan hanya Jokowi. Jokowi hanya menerima haknya sebagai mantan presiden, sebagaimana yang diterima oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya, dan oleh Megawati Soekarnoputri. Kenapa hanya Jokowi yang dibedah?
Sebagian dari mereka yang menyerang, sebenarnya tahu itu. Tapi mereka tidak ingin kebenaran tampil telanjang. Mereka butuh bayangan, butuh ruang gelap agar tuduhan dan opini bisa bertumbuh seperti jamur. Maka digunakanlah taktik lama: “kalau kamu tidak bisa temukan kesalahan nyata, buat kesannya seolah ada yang disembunyikan.”
Apa selanjutnya? Mungkin mereka akan mulai berspekulasi bahwa tanah rumah itu sengketa, atau bahwa tukang bangunan yang mengerjakannya adalah sanak saudara Jokowi. Mungkin mereka akan cari siapa yang memasok keramik dan melempar isu gratifikasi material bangunan. Mungkin juga akan mulai disebar foto satelit yang menunjukkan ukuran bangunan untuk memperkeruh suasana. Semua itu bukan hal baru dalam jagat politik Indonesia yang semakin candu dengan sensasi.
Jokowi tidak minta rumah ini. Negara yang memberikan. Jokowi tidak terburu-buru untuk pindah ke sana. Bahkan dia masih mempertimbangkan apakah rumah itu akan dipakai atau tidak. Dan kalaupun dipakai, apa urusannya dengan mereka yang selama ini tidak pernah berhenti menghujatnya? Toh rumah itu bukan rumah dinas yang pakai pelat merah, bukan rumah jabatan yang dibuka 24 jam untuk audiensi. Ini rumah pribadi, rumah pensiun. Sama seperti rumah para purnawirawan presiden lainnya.
Apa urgensinya isu ini jadi pembahasan? Jawabannya sederhana: karena ada pihak yang tidak mau Jokowi benar-benar beristirahat. Karena selama nama Jokowi masih disebut, pengaruhnya masih ada. Dan mereka tidak bisa menerima kenyataan itu. Maka selama bisa dicari cara untuk menggiring opini negatif, mereka akan lakukan, sekecil apa pun isu yang tersedia. Bahkan tembok seng pun bisa jadi bahan propaganda.
Mereka tidak sedang mencari kebenaran, mereka sedang berjualan kebencian. Dan publik harus lebih cerdas membedakan mana suara akal sehat dan mana suara sumbang dari mereka yang terjebak dendam. Jika rumah pensiun Jokowi saja bisa dijadikan isu nasional, kita patut bertanya: sebetulnya apa yang sedang mereka takutkan? Rumahnya, atau kenangan atas kepemimpinan Jokowi yang belum bisa mereka kalahkan bahkan setelah beliau lengser?
(debo/dp)
Apa Reaksi Anda?






