Gelar Perkara Khusus Ijazah Jokowi: Pertunjukan Yang Dipaksakan Oleh Kebencian Yang Berulang

detakpolitik.com JAKARTA — Dalam dinamika hukum yang seharusnya berjalan berdasarkan asas keadilan dan kebenaran, kita justru menyaksikan sebuah realitas yang ganjil: ketika aparat penegak hukum seperti Polri terpaksa menggelar sebuah gelar perkara khusus atas laporan yang sudah dinyatakan tidak terbukti oleh hasil penyelidikan resmi. Adalah laporan dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), yang dengan penuh ambisi dan sentimen politik terus menghidupkan isu lapuk: tuduhan ijazah palsu Presiden RI ke-7, Joko Widodo.
Kuasa hukum Presiden Jokowi, Rivai Kusumanegara, telah menegaskan kesiapan mereka untuk hadir dalam gelar perkara tersebut, seraya menilai langkah ini sebagai tindakan yang berlebihan. Dan memang demikianlah adanya. Bareskrim Polri, melalui Direktorat Tindak Pidana Umum, telah melakukan penyelidikan lengkap memeriksa saksi-saksi, mengonfirmasi keabsahan dokumen, hingga berkoordinasi dengan instansi pendidikan yang relevan. Hasilnya pun tegas dan tidak terbantahkan: ijazah Jokowi, baik dari SMAN 6 Solo maupun Fakultas Kehutanan UGM, adalah asli.
Namun mengapa masih harus ada gelar perkara khusus? Apakah ini murni prosedural, atau ada tekanan dari luar yang membuat institusi kepolisian gamang dalam bertindak? Apakah Polri telah mulai kehilangan ketegasannya di hadapan segelintir kelompok yang dengan semangat benci dan hoaks terus menggoyang stabilitas negara?
Gelar perkara ini bukan lagi soal mencari kebenaran, sebab kebenaran itu sudah hadir. Ini adalah soal kekuatan opini yang dipaksa menggantikan hukum. Ini adalah permainan persepsi, sebuah strategi lama yang dimainkan untuk menanamkan keraguan dalam benak rakyat terhadap simbol kepemimpinan nasional. Ketika institusi sebesar Polri tunduk pada desakan kelompok seperti TPUA, maka yang terjadi adalah preseden buruk: hukum dipermainkan oleh kebisingan publik yang dibentuk oleh opini-opini sesat.
Jangan lupa, hoaks bukan sekadar kebohongan kecil. Ia adalah benih dari kehancuran bangsa. Ketika rakyat mulai ragu terhadap keaslian Presiden mereka, apalagi karena narasi yang dibangun dari dusta dan bualan, maka yang tercipta adalah ketidakpercayaan, perpecahan, bahkan potensi disintegrasi sosial. Negara ini tidak akan besar karena toleransi terhadap kebohongan. Negara ini hancur bukan karena musuh di luar, melainkan karena racun kebencian yang terus dipelihara dari dalam.
Bayangkan, setelah UGM dengan tegas menyatakan bahwa ijazah Jokowi asli, masih saja ada yang dengan lancang bersaksi bahwa ijazah tersebut “dibuat di Pasar Pramuka.” Di mana logika dan nurani mereka? Apakah kesaksian dusta ini akan terus diberi panggung, hanya karena ada segelintir orang yang tidak pernah siap menerima keberhasilan Jokowi sebagai Presiden?
Inilah waktunya Polri tegas. Bukan hanya tegas dalam penyelidikan, tetapi tegas dalam menyatakan sikap: bahwa negara hukum ini tidak bisa dipermainkan oleh karangan liar. Tidak cukup dengan sekadar menyudahi penyelidikan. Orang-orang yang secara aktif menyebarkan hoaks harus dibawa ke pengadilan. Cukup sudah negara ini dijadikan lahan konspirasi dan fitnah. Media sosial yang dijejali konten-konten sesat, kanal YouTube yang menjual kebencian, bahkan sebagian media televisi yang ikut menyebarkan opini ngawur semua harus ditertibkan. Bila tidak, ini akan menjadi gelombang besar yang merobek fondasi kebangsaan kita.
Hukum bukan panggung drama. Ini bukan ruang publik untuk tawar-menawar kebenaran. Ketika sebuah perkara sudah diselidiki secara tuntas dan hasilnya menyatakan tidak ada pidana, maka harusnya perkara itu ditutup dengan wibawa. Bukan dibuka kembali hanya karena tekanan dari sekelompok manusia yang menjadikan kebencian sebagai mata pencaharian.
Dan mari kita bicara jujur: isu ijazah palsu ini tidak akan berhenti di sini. Setelah gelar perkara khusus, mereka akan terus mencari celah. Mereka akan menggali ke masa lalu, memelintir fakta, membuat film dokumenter palsu, menciptakan narasi “penyelamatan bangsa,” padahal yang mereka incar hanyalah panggung politik murahan. Karena yang mereka takutkan bukan kebohongan, tetapi keberhasilan Jokowi yang tidak bisa mereka tiru.
Presiden Jokowi tidak sempurna. Tapi menyerangnya dengan tuduhan palsu yang sudah berkali-kali dibantah hanya menunjukkan kemiskinan moral dan intelektual para penuduh. Negara ini butuh stabilitas, bukan gaduh tak berkesudahan. Kita butuh keadilan yang menyelamatkan masa depan, bukan pengadilan yang dikuasai oleh tekanan jalanan dan provokator digital.
Sudah waktunya kita berkata cukup. Sudah waktunya aparat menindak bukan hanya pelanggaran, tapi juga perusak akal sehat publik. Siapa pun yang terus menyebar hoaks, menciptakan ketakutan kolektif, dan mempermainkan fakta demi politik, harus dibungkam dengan hukum. Bukan demi Jokowi, tapi demi kelangsungan republik ini. Jika Polri tidak tegas, maka jangan salahkan jika negara ini terus dirongrong dari dalam oleh mereka yang menyamar sebagai pembela kebenaran padahal hanya tukang fitnah.
Dan kepada rakyat Indonesia, mari kita lebih cerdas. Jangan biarkan kebohongan jadi kebenaran hanya karena sering diulang. Ijazah Presiden adalah dokumen negara, bukan bahan lelucon. Jangan biarkan pasar Pramuka dijadikan simbol penghinaan terhadap logika dan martabat bangsa. Bangunlah kembali kepercayaan pada akal sehat. Dan kepada aparat penegak hukum: saatnya tunjukkan bahwa hukum adalah panglima bukan opini jalanan, bukan hashtag Twitter, bukan video YouTube yang penuh editan dan omong kosong.
Negara ini terlalu besar untuk diatur oleh kebohongan kecil. Tapi bisa runtuh jika kebohongan itu dibiarkan tumbuh tanpa hukuman. (HERMAN/DP)
Apa Reaksi Anda?






