Kapal Dewi Iriana dan JKW Mahakam: Rekayasa Persepsi untuk Merusak Reputasi Negara

Kapal Dewi Iriana dan JKW Mahakam: Rekayasa Persepsi untuk Merusak Reputasi Negara

Kapal Dewi Iriana dan JKW Mahakam: Rekayasa Persepsi untuk Merusak Reputasi Negara

detakpolitik.com, Jakarta — Belakangan ini ruang publik kembali digemparkan oleh sebuah pemberitaan yang sengaja digiring untuk membangun narasi tendensius: seolah Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana terlibat langsung dalam praktik tambang ilegal atau perusakan lingkungan hidup di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Alasan di balik tudingan ini tidak lebih dari sebuah kesesuaian nama. Dua kapal yang disebut berada di lokasi tambang nikel—masing-masing bernama “Dewi Iriana” dan “JKW Mahakam”—mendadak dijadikan alat serangan politik. Ada upaya sistematis untuk memperkuat persepsi bahwa nama-nama tersebut secara otomatis menunjuk pada pribadi-pribadi tertentu di lingkaran kekuasaan. Ini adalah puncak dari irasionalitas yang terstruktur. Ini bukan sekadar fitnah biasa, tetapi bentuk pembusukan opini publik yang sangat berbahaya karena mengganti asas pembuktian hukum dengan ilusi kebetulan nama.

Mari kita bongkar satu per satu.

Pertama, nama kapal “Dewi Iriana” dijadikan senjata untuk menyerang Ibu Negara. Padahal, siapa pun yang memiliki sedikit saja pengetahuan tentang dunia pelayaran dan perkapalan tahu bahwa nama kapal adalah hak prerogatif pemilik kapal—dan bisa mengambil nama siapa saja, dari dewi-dewi mitologi, nama kekasih, hingga tokoh-tokoh politik yang bahkan tidak ada hubungannya dengan pemilik. Indonesia memiliki ribuan kapal yang dinamai “Dewi” ini atau “Dewi” itu. Ada Dewi Sartika, Dewi Fortuna, Dewi Laut, Dewi Persik, bahkan Dewi Mabuk pun bisa ditemukan di pelabuhan-pelabuhan kecil. Jadi, bagaimana mungkin, hanya karena sebuah kapal bernama “Dewi Iriana”, lantas dikaitkan dengan ibu negara? Bahkan jika benar nama itu terinspirasi dari beliau, apakah itu serta merta membuktikan kepemilikan atau keterlibatan?

Yang lebih absurd lagi adalah kapal bernama “JKW Mahakam”. JKW adalah inisial yang sangat umum digunakan untuk menyebut Presiden Jokowi, tapi juga bisa berarti apa pun tergantung konteksnya. Mahakam sendiri adalah nama sungai besar di Kalimantan Timur, dan sudah menjadi nama yang jamak digunakan dalam konteks bisnis, pelayaran, hingga restoran. Jadi mengapa harus langsung ditarik kesimpulan liar bahwa kapal itu milik Jokowi atau dipakai untuk operasi tambang ilegal? Logika ini setara dengan menyimpulkan bahwa warung “Obama Fried Chicken” pasti milik mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. Atau bahwa mobil dengan plat “RI 1” di daerah terpencil pasti sedang mengangkut Presiden. Ini adalah ilusi logika, dan masyarakat dipaksa menelannya mentah-mentah oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.

Kedua, mari kita tinjau secara hukum dan etika: adakah bukti konkret, dokumen kepemilikan, atau catatan pelayaran yang mengaitkan kapal-kapal tersebut dengan Presiden dan keluarganya? Sampai hari ini, yang muncul hanya satu kata sakti: dugaan. Kata ini digunakan secara serampangan oleh media dan aktor-aktor politik untuk membungkus asumsi sebagai fakta. Ini adalah kelemahan besar dalam kultur hukum dan jurnalisme Indonesia. Kita telah terlalu terbiasa dengan framing "dugaan", sehingga publik pun larut dalam asumsi, bukan fakta. Yang lebih parah, media menjadikan dugaan sebagai headline, dan menempatkan klarifikasi atau bantahan dalam paragraf ke sekian—jika pun dimuat sama sekali.

Apakah dugaan itu boleh? Tentu saja, dalam ranah investigasi, dugaan adalah titik awal. Tapi ketika dugaan dijadikan konsumsi publik tanpa penjelasan bahwa itu adalah belum tentu benar, maka yang terjadi adalah pembunuhan karakter. Kita perlu tegaskan: dugaan bukan kebenaran. Dugaan bukan fakta. Dugaan tanpa bukti hanyalah bentuk lain dari fitnah yang dibungkus dengan gaya editorial yang seolah-olah objektif. Padahal, pada intinya, itu adalah bentuk manipulasi opini publik.

Lalu bagaimana sebenarnya posisi Presiden dalam urusan tambang nikel di Papua Barat Daya?

Jika kita telusuri lebih jauh, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi justru sedang menguatkan regulasi untuk menjaga lingkungan dari eksploitasi tambang yang merusak. Melalui berbagai instrumen hukum dan pengawasan, Presiden Jokowi telah menegaskan pentingnya hilirisasi tambang dan penegakan hukum terhadap penambangan ilegal. KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sendiri, yang sedang menangani kasus tambang di Raja Ampat, adalah bagian dari eksekutif yang berada di bawah Presiden. Jadi bagaimana mungkin Presiden dituduh merusak lingkungan, sementara lembaga yang di bawah kepemimpinannya justru yang pertama kali menindak pelanggaran tersebut?

Di sini kita melihat kejanggalan narasi. Pemerintah yang melakukan penindakan, tapi pemerintah pula yang dituduh menjadi pelaku. Ibarat orang yang memadamkan api dituduh sebagai pembakar. Ini bentuk absurditas logika yang menyedihkan, namun berhasil ditelan publik karena didistribusikan oleh media dengan framing tendensius. Di sinilah bahayanya politik simbol: publik diasah untuk percaya pada simbol dan asumsi, bukan pada data dan fakta.

Kita juga harus memahami bahwa banyak kapal yang beroperasi di wilayah-wilayah pertambangan tanpa izin yang jelas. Nama kapal bisa diganti, bisa dipalsukan, dan bisa didaftarkan atas nama siapa saja. Tanpa investigasi mendalam, kita tidak bisa mengambil kesimpulan apa pun. Dan jika memang nama kapal itu ingin dikaitkan dengan Jokowi, maka seharusnya pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah: apakah Jokowi atau keluarganya secara hukum tercatat sebagai pemilik kapal tersebut? Apakah ada aliran dana atau transaksi bisnis yang bisa ditelusuri? Jika jawabannya tidak, maka seharusnya isu ini berhenti di situ.

Namun, seperti biasa, musuh-musuh politik Presiden Jokowi tidak tertarik pada kebenaran. Mereka tertarik pada persepsi. Mereka tahu bahwa dalam politik, persepsi bisa membunuh lebih cepat daripada senjata. Maka dibuatlah narasi bahwa seolah Presiden dan keluarganya diam-diam bermain tambang di tanah Papua, dan ironisnya, merusak lingkungan di tempat yang selama ini dianggap sebagai surga terakhir di bumi. Ini adalah serangan yang sangat busuk, karena menggunakan nama baik alam dan aktivisme lingkungan untuk menyerang pribadi yang bahkan belum terbukti bersalah.

Dan di tengah kekacauan ini, kita harus kembali pada prinsip dasar hukum: presumption of innocence. Seseorang tidak bersalah sampai terbukti bersalah. Tapi prinsip ini kini dibalik oleh para pembuat opini: Jokowi dan keluarganya dianggap bersalah hanya karena ada kapal bernama mirip. Ini bukan hanya penghinaan terhadap akal sehat, tetapi juga penghinaan terhadap sistem hukum itu sendiri.

Yang paling ironis adalah, pihak-pihak yang selama ini berteriak tentang keadilan lingkungan dan keadilan hukum justru adalah orang-orang yang melanggar prinsip hukum paling mendasar. Mereka adalah hakim, jaksa, juri, sekaligus algojo yang bertindak tanpa fakta, tanpa bukti, dan tanpa rasa malu. Mereka tidak ingin menunggu hasil investigasi resmi, tidak peduli pada proses hukum, dan tidak peduli apakah benar ada pelanggaran atau tidak. Mereka hanya peduli bahwa nama Jokowi dan Iriana tercemar. Itu saja.

Ini bukan sekadar fitnah politik. Ini adalah penghancuran karakter dengan metode perang asimetris. Dan publik perlu sadar, bahwa bila metode seperti ini dibiarkan terus berkembang, maka siapa pun bisa menjadi korban selanjutnya. Hari ini Jokowi dan Iriana, besok bisa siapa saja yang namanya digunakan tanpa izin lalu dijadikan kambing hitam.

Sudah waktunya kita sebagai bangsa kembali membangun nalar publik yang sehat. Nama bukan bukti. Dugaan bukan kebenaran. Simbol bukan kenyataan. Dan fitnah yang dibungkus dengan kata "dugaan" tetaplah fitnah.

Kita tidak boleh membiarkan ruang publik terus dikotori oleh narasi-narasi jahat yang tidak berdasar. Pemerintahan yang sedang bekerja, yang telah menertibkan tambang ilegal, justru harus didukung—bukan difitnah. Mari kita rawat akal sehat kita, dan jangan biarkan permainan nama menghancurkan logika bangsa.

Karena hari ini, fitnah datang dengan kapal bernama “Dewi Iriana” dan “JKW Mahakam”. Tapi besok, bisa saja fitnah itu datang dengan nama Anda sendiri. Dan saat itu terjadi, semua akan menyesal karena telah membiarkan hukum digantikan oleh duga-duga.

(Widodo Sihotang/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow