Abraham Samad Main Drama Ijazah Jokowi?

Abraham Samad Main Drama Ijazah Jokowi?

detakpolitik.com, Jakarta- Ada satu hal yang kerap luput dari pengakuan para tokoh publik ketika mereka berada dalam pusaran kasus hukum: mereka nyaris selalu mengemas persoalan pribadinya sebagai sebuah “perjuangan demokrasi” atau “pembelaan kebebasan berekspresi” padahal di balik itu terselip kepentingan ego, luka lama, dan hasrat untuk mengembalikan panggung yang pernah hilang. Abraham Samad, mantan Ketua KPK yang pernah dielu-elukan sebagai simbol keberanian melawan korupsi, kini tampil di hadapan publik dengan narasi yang sama namun kali ini bukan untuk membongkar kasus korupsi miliaran rupiah, melainkan untuk membungkus perkara pribadinya dalam kain agung yang bernama “pembelaan kebebasan berpendapat”. Ironisnya, panggung itu muncul ketika ia diperiksa polisi terkait pernyataannya dalam sebuah podcast yang menyentuh isu ijazah Presiden Jokowi, isu yang oleh banyak kalangan sudah dianggap selesai secara hukum, terverifikasi oleh universitas, dan hanya menyisakan gema dari para penyebar hoaks yang tidak pernah mau mengakui fakta.

Kemarahan Abraham Samad dalam wawancara-wawancara usai pemeriksaan terdengar seperti denting nada minor dari seorang yang merasa dirinya diperlakukan tidak adil, bahkan dibungkam. Ia mengaku dicerca puluhan pertanyaan selama sepuluh jam, ditanya hal-hal yang menurutnya di luar konteks, dan diorek data-data pribadinya. Namun, di sinilah publik yang berpikir kritis perlu memutar balik cermin: bukankah ia sendiri yang secara terbuka, di ruang digital, memantik topik yang sudah penuh risiko hukum? Bukankah ketika seseorang memutuskan untuk melemparkan tuduhan atau memberi ruang legitimasi kepada narasi yang menyerang reputasi orang lain apalagi kepala negara maka ia harus siap dengan konsekuensi hukum, baik suka maupun tidak? Memang mudah mengklaim diri sedang dibungkam, tapi lebih sulit untuk mengakui bahwa yang dibungkam itu sebenarnya bukan kebebasan berpendapat, melainkan kebebasan untuk menebar dugaan tanpa bukti sahih di ruang publik.

Kesakitan hati Abraham Samad dalam kasus ini terasa jelas jika kita menelusuri latar panjang perjalanan hidupnya. Dulu, ia adalah ikon reformasi penegakan hukum di era KPK yang berani menghadang politisi besar. Ia pernah berdiri di garis depan pemberantasan korupsi dengan gaya bicara yang tegas, nyaris meyakinkan semua orang bahwa dialah benteng terakhir integritas. Tapi sejarah mencatat, posisinya runtuh setelah dirinya sendiri tersandung kasus pribadi yang kontroversial, dan sejak saat itu, panggung kekuasaan yang pernah ia nikmati seperti menjauh. Tidak lagi memegang jabatan prestisius, tidak lagi menjadi pusat sorotan, ia masuk ke dunia opini publik, memanfaatkan platform digital untuk membangun kembali citra sebagai sosok vokal yang berani berkata “tidak” kepada penguasa. Namun, cara yang ia pilih kali ini adalah dengan mendekatkan diri pada narasi yang sudah berbau hoaks, atau setidaknya, narasi yang rawan terbentur hukum.

Yang patut disorot adalah bagaimana Abraham Samad memainkan kartu “korban” dalam kasus ini. Ia berbicara tentang pembungkaman, kriminalisasi, dan upaya membungkam kebebasan berpendapat seolah-olah aparat penegak hukum tidak memiliki dasar apapun untuk memanggilnya. Padahal, publik yang paham hukum tahu bahwa pemanggilan saksi terlapor adalah prosedur normal, terutama jika ada laporan dugaan pelanggaran UU ITE. Tidak ada sesuatu yang luar biasa di sana. Justru yang luar biasa adalah bagaimana Samad mencoba menggiring opini bahwa pemeriksaan terhadapnya adalah ancaman terhadap demokrasi. Strategi ini klasik: bungkus masalah pribadi dengan jargon idealisme, lempar ke publik, biarkan simpatisan menelan mentah-mentah, lalu nikmati efeknya dalam bentuk empati, liputan media, dan citra sebagai pejuang kebebasan.

Namun, bila kita bongkar lapis demi lapis, yang tampak di balik narasi heroik itu adalah kekecewaan personal yang mendalam. Kekecewaan karena ia tidak lagi berada di garis terdepan penegakan hukum. Kekecewaan karena suaranya kini tidak otomatis menjadi kebenaran mutlak di mata publik seperti dulu. Dan mungkin, kekecewaan karena ia melihat lawan politik yang dulu dibidik KPK justru kini berada di puncak kekuasaan, sementara ia harus berjuang keras sekadar menjaga relevansi di tengah derasnya arus berita. Kesakitan hati semacam ini mudah merembes menjadi sikap sinis terhadap penguasa, sehingga setiap kebijakan, setiap tindakan hukum, bahkan setiap klarifikasi yang sah sekalipun dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi.

Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa isu ijazah Jokowi bukanlah persoalan yang lahir kemarin sore. Isu ini sudah berkali-kali diperiksa, diverifikasi, bahkan dibantah secara resmi oleh pihak universitas dan lembaga negara. Bareskrim Polri telah menyatakan bahwa ijazah tersebut asli. Tapi seperti halnya mitos yang enggan mati, isu ini terus dihidupkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang lebih peduli pada efek politis daripada kebenaran fakta. Dalam konteks ini, Abraham Samad bukannya menjadi pembawa obor kebenaran, tetapi justru memberikan oksigen kepada api yang mestinya sudah padam. Dengan tampil di podcast dan memberi ruang kepada narasi itu, ia sebenarnya sedang menghidupkan kembali sebuah polemik usang, dan seharusnya ia paham bahwa langkah itu bisa berujung konsekuensi hukum.

Seorang mantan Ketua KPK tentu tidak awam dengan mekanisme hukum. Ia tahu betul perbedaan antara kebebasan berpendapat dan penyebaran dugaan yang berpotensi mencemarkan nama baik. Ia paham betul bahwa demokrasi bukan berarti bebas berbicara tanpa batas, apalagi jika ucapan itu menyentuh reputasi orang lain tanpa bukti yang dapat diverifikasi di pengadilan. Justru karena pengalamannya di KPK, publik berhak menuntut standar yang lebih tinggi darinya. Ketika ia memilih jalur yang rawan, ia tidak bisa serta-merta berlindung di balik klaim bahwa negara sedang membungkamnya. Kalau memang ia ingin menguji kebenaran, ada saluran hukum, ada mekanisme verifikasi, ada proses formal yang jauh lebih tepat daripada melempar isu ke ruang publik dan kemudian meratap ketika dimintai pertanggungjawaban.

Yang paling menohok dari semua ini adalah kenyataan bahwa Abraham Samad tampak seperti sedang mencari panggung dengan memanfaatkan momen. Ia tahu isu ijazah Jokowi adalah topik yang panas di media sosial, ia tahu banyak kelompok anti-pemerintah yang haus akan figur publik untuk menjadi simbol perlawanan, dan ia tahu perannya bisa membangkitkan simpati. Namun, di balik semua itu, yang sebenarnya ia lakukan adalah mengubah ruang diskusi publik menjadi arena untuk menghidupkan kembali dendam lama dan meneguk kembali sorotan kamera. Sungguh ironis bahwa seorang yang pernah berdiri di garda terdepan perang melawan korupsi kini memilih jalur bermain di wilayah abu-abu informasi.

Kita sebagai publik tidak boleh terjebak oleh retorika yang mengaburkan fakta. Pembungkaman kebebasan berpendapat adalah isu serius yang patut dilawan jika benar terjadi. Tetapi tidak semua orang yang berteriak “dibungkam” benar-benar sedang dibungkam. Kadang, mereka hanya tidak siap menghadapi konsekuensi dari pilihan kata dan tindakan mereka sendiri. Dalam kasus ini, Abraham Samad bukanlah pejuang kebebasan yang diserang tanpa sebab, melainkan seorang mantan pejabat publik yang harus mempertanggungjawabkan ucapannya di ruang digital. Itu bukan pembungkaman, itu adalah bagian dari aturan main demokrasi yang ia sendiri pernah bela.

Dan di ujungnya, publik harus sadar bahwa demokrasi bukanlah arena bebas tanpa batas, melainkan ruang dengan pagar-pagar hukum yang melindungi semua pihak dari tuduhan tak berdasar. Jika Abraham Samad merasa kesakitan karena diperiksa, itu adalah rasa sakit yang seharusnya ia sambut sebagai konsekuensi logis dari pilihannya. Demokrasi tidak akan mati hanya karena satu orang diperiksa polisi. Justru demokrasi akan mati jika kita membiarkan opini tanpa bukti menjadi hukum jalanan yang tak terkendali.(wira/dp)

 

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow