DPR Hidup Mewah, Rakyat Sengsara: Tunjangan Fantastis yang Mengkhianati Nurani!

DPR Hidup Mewah, Rakyat Sengsara: Tunjangan Fantastis yang Mengkhianati Nurani!

DPR Hidup Mewah, Rakyat Sengsara: Tunjangan Fantastis yang Mengkhianati Nurani!

detakpolitik.com, Jakarta - Dalam sejarah demokrasi Indonesia, jarang sekali publik menyaksikan suatu lembaga negara yang seharusnya menjadi wakil rakyat justru berperilaku seolah-olah menjadi penguasa rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat, yang semestinya menjadi cerminan aspirasi masyarakat, kini semakin terlihat lebih sebagai lembaga aristokrat yang menikmati kenyamanan hidup di atas penderitaan bangsa. Kabar mengenai tunjangan fantastis yang digelontorkan kepada para anggota dewan menjadi puncak gunung es dari persoalan yang jauh lebih dalam: hilangnya empati terhadap rakyat dan pudarnya rasa malu di hadapan publik yang tengah berjuang menghadapi krisis ekonomi, harga kebutuhan pokok yang terus meroket, dan ketimpangan sosial yang makin terasa di seluruh lapisan masyarakat.

Rakyat di luar gedung parlemen bertahan dengan gaji minimum yang tak seberapa, sementara biaya hidup semakin menghimpit. Petani menjerit karena harga pupuk melambung, nelayan terhimpit biaya solar yang mencekik, buruh mempertaruhkan tenaga dengan upah yang pas-pasan, dan mahasiswa bahkan harus berjuang keras membayar biaya pendidikan yang semakin tak terjangkau. Dalam kondisi demikian, pengumuman mengenai tunjangan besar bagi anggota DPR bukan hanya mencederai rasa keadilan publik, tetapi juga menjadi simbol nyata betapa jauhnya para wakil rakyat ini dari denyut kehidupan rakyat yang diwakilinya. Keputusan itu tidak hanya tidak peka; ia adalah penghinaan terang-terangan terhadap logika moral, etika jabatan publik, dan prinsip demokrasi itu sendiri.

Aksi demonstrasi yang muncul Akhir-akhir ini di depan gedung DPR adalah ledakan spontan dari akumulasi kemarahan. Rakyat sudah terlalu lama bersabar melihat berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan publik. Namun, yang lebih menyakitkan adalah respons aparat yang dengan sigap membubarkan aksi, seolah-olah suara rakyat adalah ancaman, bukan penanda bahwa ada masalah serius yang harus dibenahi. Pengamat politik Ray Rangkuti benar ketika mengatakan bahwa pembubaran massa terlalu dini dan tidak proporsional. Aksi tersebut bukan hanya tentang menolak tunjangan fantastis, tetapi tentang menggugat moralitas wakil rakyat yang terus menerus kehilangan arah.

Kritik ini tidak bisa lagi disampaikan dengan bahasa lunak atau penuh basa-basi. DPR perlu disadarkan bahwa keberadaan mereka dibiayai oleh pajak rakyat, bukan oleh harta pribadi mereka. Mereka duduk di kursi empuk hasil jerih payah rakyat yang bekerja membanting tulang, bukan karena mereka berjasa menciptakan kekayaan negara secara langsung. Mereka mengelola amanat, bukan warisan. Namun, dengan tunjangan yang terus melambung, seolah-olah jabatan itu adalah hak istimewa yang memberi mereka wewenang untuk memanjakan diri sendiri tanpa batas.

Ironi semakin terasa ketika melihat kinerja legislasi yang justru tidak sebanding dengan fasilitas yang mereka nikmati. Dalam satu tahun sidang, banyak RUU yang mandek, sejumlah rapat yang sepi kehadiran, bahkan tidak sedikit anggota DPR yang terjerat kasus korupsi. Bagaimana mungkin publik percaya bahwa tunjangan besar akan memotivasi kinerja, sementara fakta menunjukkan bahwa masalah integritas jauh lebih parah daripada sekadar persoalan kompensasi? Bayangkan jika uang miliaran yang dialokasikan untuk tunjangan digunakan untuk memperbaiki sistem pendidikan, menurunkan harga sembako, atau memperkuat layanan kesehatan di daerah terpencil. Dampaknya akan jauh lebih terasa bagi rakyat, dan itu pula sejatinya fungsi dari anggaran publik: memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan umum, bukan untuk memperkaya segelintir elite politik.

Sementara itu, para anggota DPR mungkin berdalih bahwa tunjangan diperlukan untuk mendukung tugas representasi dan menjaga martabat jabatan mereka. Dalih ini terdengar seperti sandiwara murahan di tengah krisis multidimensi yang dialami bangsa. Martabat bukanlah sesuatu yang bisa dibeli dengan uang negara; martabat dibangun dari integritas, dedikasi, dan pengabdian. Wakil rakyat yang benar-benar memahami arti pelayanan publik tidak akan tega menikmati fasilitas berlebihan sementara rakyatnya harus antre bantuan beras atau berjuang mencari pekerjaan. Mereka yang mengerti arti moralitas jabatan akan rela memotong gaji mereka sendiri demi membiayai program kesejahteraan rakyat. Tetapi apakah itu yang terjadi di DPR saat ini? Jelas tidak. Yang kita saksikan hanyalah parade kemewahan, arogansi kebijakan, dan ketumpulan hati nurani.

Jika DPR tidak segera merespons kritik publik dengan tindakan konkret, konsekuensinya bisa jauh melampaui sekadar penolakan moral. Kepercayaan publik terhadap institusi ini dapat runtuh total, memicu gelombang delegitimasi yang berbahaya bagi kelangsungan demokrasi. Sebab, demokrasi tidak hanya ditopang oleh prosedur pemilu lima tahunan, melainkan oleh keyakinan rakyat bahwa wakilnya sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan mereka. Ketika keyakinan itu hilang, maka seluruh bangunan demokrasi akan runtuh menjadi panggung sandiwara politik yang penuh kemunafikan. (Hengki/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow