Jokowi Pilih PSI, Tolak PPP: Pertanda Perang Dingin Baru dengan PDIP?

Jokowi Pilih PSI, Tolak PPP: Pertanda Perang Dingin Baru dengan PDIP?

Jokowi Pilih PSI, Tolak PPP: Pertanda Perang Dingin Baru dengan PDIP?

detakpolitik.com, JAKARTA - Joko Widodo, atau yang lebih akrab disapa Jokowi, sekali lagi menunjukkan manuver politik yang tajam dan terukur. Keputusan mantan Presiden Republik Indonesia dua periode ini untuk secara terang-terangan lebih memilih Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ketimbang Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bukan hanya sebuah pernyataan personal, melainkan sinyal politik yang sarat makna. Dalam pernyataan singkatnya di Solo, pada Jumat 6 Juni 2025, Jokowi dengan ringan menolak kemungkinan dirinya memimpin PPP, sembari menegaskan bahwa dirinya memilih untuk tetap bersama PSI. “Enggaklah,” ujarnya merespons pertanyaan mengenai kemungkinan menjadi Ketua Umum PPP, “Saya di PSI sajalah.”

Bagi sebagian orang, ini mungkin terlihat seperti pilihan biasa. Namun dalam lanskap politik Indonesia pasca Pilpres 2024, pilihan Jokowi justru membuka kotak pandora yang lebih luas. Ini adalah penegasan bahwa Jokowi bukan hanya mantan Presiden yang pensiun dan menepi, melainkan sosok yang masih sangat aktif memainkan pengaruh dan loyalitas politik. PSI, partai yang sebelumnya tak pernah menembus ambang batas parlemen, kini mendapat sokongan penuh dari seorang mantan Presiden yang masih memiliki jejaring kekuasaan luas, mulai dari birokrasi hingga akar rumput. Ini bukan hanya strategi bertahan—ini adalah upaya ekspansi.

Sementara itu, sikap Jokowi terhadap PPP, meski tetap penuh penghormatan, sejatinya menunjukkan jarak politik. Jokowi menyatakan bahwa di PPP sudah banyak calon ketua umum yang memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi. Pernyataan ini bisa dibaca sebagai sinyal bahwa Jokowi tidak melihat ruang yang cukup fleksibel atau strategis untuk dirinya di partai berlambang Ka'bah tersebut. PPP adalah partai tua dengan basis ideologis keagamaan yang kuat, dan dalam perjalanannya sering kali terlibat dalam tarik-ulur friksi internal. Dengan konstelasi yang ada, mungkin saja Jokowi menilai PPP terlalu padat oleh kompromi-kompromi ideologis dan kepentingan kelompok yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan atau diarahkan.

Sebaliknya, PSI menawarkan ruang lebih longgar, lebih fleksibel, dan—yang terpenting—lebih siap untuk dikendalikan oleh figur sentral seperti Jokowi. PSI adalah partai yang sejak awal berdiri menyatakan diri sebagai pembawa semangat antikorupsi, modernitas, dan pluralisme. Basis ideologi partai ini tidak sekaku partai-partai tua. Struktur kepemimpinan PSI pun cenderung sentralistik dan loyal terhadap tokoh. Dalam konteks ini, Jokowi tidak hanya mendapatkan panggung politik baru, tetapi juga kendaraan yang bisa ia desain ulang sesuai dengan agenda jangka panjangnya. Ini adalah medan yang jauh lebih bisa diatur dan diarahkan dibanding PPP yang sudah terlalu lama berkubang dalam patronase politik era Orde Baru dan transisi Reformasi.

Secara strategis, pilihan Jokowi pada PSI merupakan bentuk konsolidasi kekuatan politik pasca-kepresidenan. Dalam sistem presidensial seperti Indonesia, mantan presiden tidak serta-merta kehilangan pengaruh. Jokowi menyadari bahwa kekuatan politiknya, termasuk pengaruh terhadap kabinet, partai politik, dan juga opini publik, masih sangat besar. Dengan menggandeng PSI, ia menciptakan sebuah posko politik baru yang bukan hanya siap menyambut Pemilu 2029, tetapi juga menjadi pusat kekuatan alternatif dalam konstelasi politik nasional saat ini.

Kondisi politik Indonesia pasca Pilpres 2024 berada dalam fase transisional. Prabowo Subianto telah dilantik sebagai Presiden, berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi. Duet ini telah mengubah banyak hal dalam politik Indonesia. Gibran sebagai Wakil Presiden menjembatani masa lalu dan masa depan. Ia menjadi simbol regenerasi politik sekaligus perpanjangan tangan pengaruh Jokowi dalam pemerintahan baru. Di sinilah PSI memegang peran penting. Dengan dukungan Jokowi, PSI bisa menjadi basis loyalis Jokowi di luar struktur eksekutif formal. Ia bukan hanya ‘mantan Presiden’, tetapi juga mentor politik bagi generasi muda PSI yang siap tampil di pentas nasional.

Namun, dinamika ini juga berimplikasi langsung terhadap hubungan Jokowi dengan PDIP. Selama dua periode menjabat sebagai Presiden, Jokowi adalah kader PDIP dan sering kali menyebut Megawati Soekarnoputri sebagai 'ibu'. Namun hubungan ini semakin lama semakin renggang, terutama menjelang Pilpres 2024 ketika PDIP memilih Ganjar Pranowo sebagai capres, sementara Jokowi mendukung Prabowo Subianto yang berpasangan dengan putranya sendiri. Pilihan politik ini menandai titik belok penting dalam hubungan Jokowi dengan partai yang telah mengantarkannya ke puncak kekuasaan.

Bergesernya Jokowi ke PSI mempertegas friksi tersebut. Ini bukan sekadar perbedaan pilihan politik, tetapi pembentukan poros baru. PDIP selama ini merasa sebagai satu-satunya partai yang berhak atas narasi nasionalisme dan keberlanjutan agenda reformasi. Namun kini, Jokowi secara perlahan merebut narasi tersebut dan mentransfernya ke PSI—sebuah partai muda, modern, dan tidak memiliki beban sejarah ideologis maupun faksional. Jika hal ini berlanjut, PSI bisa menjadi magnet baru bagi kelompok-kelompok muda nasionalis yang sebelumnya mendukung PDIP.

Persaingan antara PSI dan PDIP bisa menjadi sangat tajam ke depan. PDIP adalah partai besar dengan infrastruktur yang kuat, namun sedang mengalami krisis regenerasi dan konflik internal. Sementara itu, PSI dengan dorongan penuh Jokowi dan koneksi yang dimilikinya ke birokrasi, dunia usaha, dan media, memiliki peluang untuk menjadi kuda hitam yang tumbuh cepat. Apalagi jika PSI berhasil memosisikan diri sebagai perpanjangan tangan Jokowi dan Gibran di luar struktur pemerintahan.

Dampak politik dari pilihan Jokowi terhadap PSI akan terasa dalam banyak level. Pertama, ini akan mengubah konfigurasi dukungan legislatif. Jika PSI terus mendapat dukungan, termasuk kemungkinan masuknya tokoh-tokoh eks-PDIP atau eks-pejabat Jokowi ke dalam struktur PSI, maka PSI akan tumbuh pesat sebagai kekuatan parlemen yang signifikan. Kedua, ini akan mempengaruhi arah koalisi pemerintahan Prabowo. Meskipun belum ada indikasi jelas bahwa PSI masuk dalam kabinet, Jokowi bisa memainkan peran sebagai penyeimbang terhadap dominasi partai-partai besar seperti Gerindra dan Golkar. Ketiga, ini membuka pertarungan ideologis baru dalam kontestasi nasionalisme—antara versi PDIP yang mengusung nasionalisme historis dan ideologis, dan versi PSI yang mengusung nasionalisme praktis, digital, dan kekinian.

Lebih jauh lagi, PSI juga bisa menjadi instrumen untuk menjaga relevansi politik Gibran. Sebagai Wakil Presiden, Gibran belum tentu memiliki kendaraan politik mandiri. Jika PDIP menutup pintu untuk Gibran, maka PSI adalah satu-satunya partai yang bisa dipoles sebagai kendaraan politik alternatif yang lebih luwes dan mudah diarahkan oleh Jokowi. Dalam jangka panjang, ini bisa menjadi alat suksesi politik yang efektif: Gibran sebagai wajah baru, PSI sebagai partai muda, dan Jokowi sebagai arsitek kekuatan di balik layar.

Pada akhirnya, pilihan Jokowi untuk bersama PSI menunjukkan bahwa ia tidak sekadar menjadi tokoh pasif pasca-kekuasaan. Ia sedang menyusun arsitektur politik jangka panjang yang bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk warisan politiknya. PSI adalah laboratorium politik di mana Jokowi bisa bereksperimen tanpa beban sejarah, menciptakan kader-kader baru, dan memoles narasi kebangsaan dalam format yang lebih segar dan populis.

Sementara PDIP akan menghadapi dilema besar: apakah terus bertahan dalam glorifikasi masa lalu, atau membuka diri terhadap arus baru yang dipicu oleh manuver Jokowi. Pilihan ini akan menentukan apakah PDIP tetap relevan atau justru terjebak dalam stagnasi. Dalam pertarungan ini, PSI mungkin masih kecil secara angka, tetapi dengan kekuatan figur seperti Jokowi, ia bisa menjadi sangat besar secara pengaruh.

Dan seperti yang sering ditunjukkan sejarah politik Indonesia, yang kecil dan diremehkan hari ini bisa jadi penentu masa depan besok. PSI, dengan Jokowi sebagai patron, mungkin saja sedang menuju masa depan itu.

(Widodo/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow