Kritik Gibran, Ditangkap Paspampres, Lalu Diajak Makan: Drama Poster di Blitar

Kritik Gibran, Ditangkap Paspampres, Lalu Diajak Makan: Drama Poster di Blitar

Kritik Gibran, Ditangkap Paspampres, Lalu Diajak Makan: Drama Poster di Blitar

detakpolitik.com, JAKARTA - Dalam dunia demokrasi, kebebasan berpendapat dan menyampaikan aspirasi merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi. Namun, cara dan etika dalam menyampaikan pendapat itulah yang kerap menjadi perdebatan dan titik krusial dalam masyarakat sipil. Peristiwa yang terjadi di Kota Blitar pada 18 Juni 2025, ketika empat mahasiswa dari PMII Cabang Blitar membentangkan poster berisi kritik terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat iring-iringan kendaraan rombongan melintas, menjadi potret terbaru dari persinggungan antara kebebasan berekspresi dan etika publik dalam menyampaikan kritik di ruang demokrasi.

Poster-poster yang dibentangkan para mahasiswa tersebut mengandung pesan-pesan sindiran dan kecaman yang lugas: “Omon-omon 19 Juta Lapangan Kerja”, “Siapa Percaya Pengangkang Konstitusi”, “Semangat Terus Bikin Bualan Mas Wapres”, dan “Dinasti Tiada Henti.” Tak bisa dipungkiri, frasa-frasa tersebut memang memuat pesan-pesan tajam yang ditujukan langsung kepada sosok Gibran sebagai figur publik sekaligus Wakil Presiden Republik Indonesia. Kritik dalam bentuk poster ini jelas dimaksudkan untuk mengungkapkan ketidakpuasan atas berbagai hal, termasuk janji politik, isu konstitusionalitas pencalonan Gibran, serta narasi tentang dinasti politik.

Namun pertanyaannya adalah: apakah bentuk penyampaian aspirasi semacam ini pantas dilakukan di momen kunjungan kerja seorang pejabat tinggi negara, yang secara protokoler membawa misi kenegaraan dan pembangunan daerah? Di sinilah muncul keragaman pendapat. Sebagian akan membela para mahasiswa dengan dalih bahwa momen kehadiran Gibran justru menjadi kesempatan strategis untuk menyampaikan suara kritis secara langsung. Tapi sebagian yang lain, termasuk Wali Kota Blitar Syauqul Muhibbin alias Ibin, menilai cara tersebut sebagai tindakan yang tidak elegan dan sekadar mencari perhatian.

Pernyataan Wali Kota Ibin patut didengarkan dengan seksama. Ia menyampaikan kekecewaannya sebagai seorang kepala daerah yang telah bersusah payah menghadirkan Wapres ke Kota Blitar dengan tujuan mendorong percepatan pembangunan, khususnya pengajuan proposal pembenahan rumah sakit daerah dengan nilai mencapai ratusan miliar Rupiah. Bagi seorang pemimpin daerah, kehadiran pejabat negara merupakan momentum penting dan langka yang tidak sekadar bersifat seremonial, tapi juga pragmatis dalam rangka pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi lokal, serta mendorong percepatan pelayanan publik.

Dalam perspektif itu, aksi bentang poster para mahasiswa dipandang sebagai bentuk pengabaian terhadap kerja keras Pemerintah Kota Blitar dalam membangun komunikasi strategis dengan pemerintah pusat. Tindakan semacam ini, meskipun dijamin oleh hukum, tetap tidak bisa dipisahkan dari norma kesopanan dan tata krama masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi etika terhadap tamu. Apalagi, dalam konteks budaya Jawa—yang begitu kental di Blitar—konsep "unggah-ungguh" atau tata krama terhadap tamu negara sangat dijunjung tinggi. Tidak mengherankan jika Wali Kota Blitar merasa malu dan menyayangkan aksi mahasiswa tersebut.

Namun demikian, perlu juga dikritisi: mengapa aspirasi mahasiswa harus selalu ditanggapi dengan pendekatan aparat keamanan seperti yang dilakukan oleh personel Paspampres dalam peristiwa tersebut? Video yang beredar menunjukkan bagaimana tiga personel Paspampres merangkul bahkan meringkus dua mahasiswa dan merebut poster yang mereka pegang. Ini bukan sekadar penghalauan, melainkan sebuah tindakan represif dalam bingkai semantik "pengamanan."

Respons semacam ini, meskipun dibalut alasan keamanan, tetap menyisakan kekhawatiran akan kebebasan sipil di tengah demokrasi kita. Ketika aparat bertindak represif terhadap demonstrasi damai, bahkan yang dilakukan tanpa kekerasan dan sekadar membentang poster, maka pesan yang sampai ke publik bukanlah bahwa negara menjamin kebebasan berpendapat, melainkan bahwa negara hanya menerima aspirasi yang dibungkus rapi dan tidak mengganggu citra.

Di sinilah kita menyaksikan paradoks demokrasi di Indonesia: rakyat dijanjikan kebebasan berekspresi, tetapi ekspresi yang terlalu "terbuka" dianggap tidak sopan, tidak patut, bahkan harus dihalau dengan kekuatan. Ini adalah gejala regresi demokrasi yang terjadi secara halus—melalui represi yang dibungkus dengan alasan tata krama, kenyamanan publik, atau bahkan keamanan nasional.

Terlepas dari semua itu, kita juga harus mengkritik cara para mahasiswa menyampaikan kritik tersebut. Alih-alih memperdalam substansi kritik melalui forum dialog, diskusi terbuka, atau kampanye berbasis data, mereka memilih cara yang provokatif namun dangkal. Frasa seperti “Siapa Percaya Pengangkang Konstitusi” atau “Semangat Terus Bikin Bualan Mas Wapres” mungkin terasa lucu dan sinis, namun tidak menawarkan kedalaman argumentasi yang bisa menggugah publik untuk merenung atau berubah sikap. Justru, pesan-pesan seperti itu cenderung membuat kritik kehilangan bobot intelektualnya dan terjerumus ke dalam jebakan populisme mahasiswa yang hanya ingin viral atau mendapat tepuk tangan dari kelompok yang sudah sejak awal bersikap oposisi terhadap Gibran.

Di sini, PMII Blitar sebagai organisasi yang mengklaim diri berbasis nilai-nilai Islam progresif, mestinya mampu menawarkan kritik dengan format yang lebih bernas dan konstruktif. Kritik boleh tajam, tapi harus dilandasi dengan analisis, bukan sekadar permainan kata-kata kasar atau slogan. Apalagi jika dilakukan hanya demi simbolik perlawanan tanpa perhitungan dampak dan penerimaan publik. Mahasiswa adalah kaum terpelajar, dan publik berharap dari mereka bukan hanya nyali, tapi juga nalar.

Kita pun patut bertanya: apakah mahasiswa tersebut benar-benar memahami substansi isu yang mereka kritik? Apakah mereka mengkritik 19 juta lapangan kerja karena kegagalan realisasi, atau hanya ikut-ikutan menyebut “bualan” tanpa data? Apakah mereka memiliki dasar hukum dan kajian akademik yang kuat untuk menyebut Gibran sebagai “pengangkang konstitusi,” atau hanya mengutip narasi media sosial yang belum tentu sahih? Dalam dunia pergerakan, tindakan tanpa basis intelektual adalah bentuk kejumudan, bukan perlawanan. Dan itulah yang berbahaya bagi masa depan gerakan mahasiswa: ketika kritik menjadi ritual kosong dan bukan manifestasi kesadaran kritis.

Namun di sisi lain, respons Gibran yang memilih mengajak makan siang dan menerima ketiga mahasiswa yang ditahan oleh Paspampres patut diapresiasi. Dalam dunia politik yang kerap keras dan defensif, sikap terbuka Gibran untuk mendengar kritik langsung dari pihak yang tidak menyukainya menunjukkan kedewasaan dan kecerdasan politik. Gibran tampaknya paham bahwa menghadapi kritik tidak perlu selalu dengan kekerasan atau pembungkaman, tapi bisa dengan pendekatan dialog dan humanisasi. Ini menjadi pelajaran penting, baik bagi pejabat publik lainnya maupun para aktivis muda: bahwa perbedaan pendapat tidak selalu harus berujung pada konfrontasi, tapi bisa menjadi pintu untuk transformasi.

Kasus di Blitar ini seharusnya menjadi refleksi dua arah. Pemerintah harus menjamin bahwa setiap warga negara, termasuk mahasiswa, berhak menyampaikan pendapat dengan aman dan tanpa intimidasi. Tapi mahasiswa juga harus membuktikan bahwa kebebasan yang mereka perjuangkan bukan sekadar simbolik, melainkan perjuangan yang dilandasi oleh integritas intelektual, kedewasaan moral, dan tanggung jawab sosial. Demokrasi tidak tumbuh dari ejekan dan sinisme semata, tapi dari dialektika yang sehat antara suara rakyat dan kebijaksanaan kekuasaan.

Sebagai penutup, mari kita jujur menilai: demokrasi bukan hanya tentang siapa yang paling keras bersuara, tapi siapa yang paling mampu mendengar, memahami, dan mengartikulasikan kepentingan bersama dengan cara yang membawa kemajuan. Dalam hal ini, kritik boleh tetap tajam, tapi jangan sampai kehilangan kedalaman. Pemerintah boleh tetap tegas, tapi jangan sampai kehilangan empati. Dan mahasiswa, sebagai pewaris masa depan bangsa, harus memastikan bahwa setiap aksinya bukan hanya lantang, tapi juga benar dan bermanfaat bagi kemajuan negeri ini. (widodo/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow