‘FUFUFAFA’ JADI ALASAN MAKZULKAN WAPRES, BONGKAR MOTIF BUSUK DI BALIK ISU PEMAKZULAN!
‘FUFUFAFA’ JADI ALASAN MAKZULKAN WAPRES, BONGKAR MOTIF BUSUK DI BALIK ISU PEMAKZULAN!

‘FUFUFAFA’ JADI ALASAN MAKZULKAN WAPRES, BONGKAR MOTIF BUSUK DI BALIK ISU PEMAKZULAN!
Penulis: Firta Sari Panjaitan | Peneliti Utama Bidang Politik Detak Politika
detakpolitik.com, JAKARTA - Ketika akal sehat dicampakkan ke luar jendela politik, dan konstitusi diperlakukan seperti celana karet yang bisa ditarik ke segala arah sesuai selera kekuasaan atau kebencian, maka lahirlah sebuah fenomena ganjil dalam sejarah republik: pemakzulan seorang Wakil Presiden yang baru beberapa bulan menjabat, tanpa kesalahan hukum, tanpa pelanggaran sumpah jabatan, hanya karena dendam politik dan kebencian atas legalitas formal yang tidak bisa mereka terima.
Beberapa hari terakhir, ruang publik kita kembali dipenuhi dengan pernyataan-pernyataan yang mencederai rasionalitas demokrasi. Forum Purnawirawan TNI yang tidak memiliki kedudukan konstitusional dan tidak pernah mendapat mandat rakyat tiba-tiba mengirim surat kepada DPR dan MPR untuk mendesak agar Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dimakzulkan. Alasannya? Putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap kontroversial karena mengubah batas usia capres-cawapres, serta unggahan dari akun anonim “fufufafa” yang dinilai menghina tokoh nasional. Jika ini tidak disebut lelucon politik yang berbahaya, maka apa lagi?
Apa yang lebih mengkhawatirkan dari sekadar permintaan itu adalah upaya sistematis untuk mengaburkan makna pemakzulan dalam sistem ketatanegaraan kita. Pemakzulan bukanlah instrumen pelampiasan kekecewaan politik. Ia adalah mekanisme konstitusional yang sangat serius, yang hanya bisa dijalankan jika seorang Presiden atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela serta tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan.
Satu-satunya dasar konstitusional bagi pemakzulan termaktub jelas dalam Pasal 7A UUD 1945. Dan dari semua syarat itu, tidak satu pun terpenuhi oleh Gibran Rakabuming Raka. Ia tidak pernah melakukan pengkhianatan terhadap negara. Tidak ada tuduhan korupsi. Tidak ada skandal suap. Tidak ada vonis pengadilan atas tindak pidana berat. Ia tidak melakukan perbuatan tercela. Ia bahkan belum genap menjalani setahun masa jabatan.
Maka ketika ada sekelompok orang yang mengaku forum purnawirawan TNI mengusulkan pemakzulan atas dasar kekecewaan terhadap Putusan MK, hal itu bukan hanya tindakan keliru secara hukum, melainkan telah melewati batas dan layak disebut makar dalam artian politik dan moral. Mereka bukan sedang memperjuangkan konstitusi. Mereka sedang menabraknya.
Lebih jauh, kita menyaksikan bagaimana tokoh-tokoh lain menanggapi isu ini. Pengamat hukum tata negara dari STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan bahwa usulan tersebut sah saja diajukan. Bahkan ia menyebut bahwa rakyat boleh saja menggugat legitimasi seorang pejabat negara, termasuk mengajukan pemakzulan. Akan tetapi, Bivitri tampaknya lupa membedakan antara kebebasan berekspresi dengan legal standing dalam mekanisme kenegaraan. Dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia, pemakzulan adalah urusan antara lembaga legislatif dan yudikatif, bukan wacana ugal-ugalan yang bisa dijajakan seperti opini media sosial.
Menjadi aneh ketika seorang akademisi yang seharusnya menjunjung rasionalitas hukum justru ikut menormalisasi sesuatu yang cacat prosedur, cacat substansi, dan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi konstitusional. Ia bahkan sempat menyinggung soal unggahan dari akun anonim “fufufafa” sebagai bagian dari dasar moral pemakzulan. Apakah negara ini hendak menjadikan akun anonim sebagai rujukan kenegaraan?
Siti Zuhro, peneliti BRIN dalam bidang politik, justru menilai bahwa pemakzulan adalah langkah demokratis. Ia menganggap bahwa jalur konstitusi seharusnya dibuka bagi rakyat untuk menyampaikan keberatan terhadap pejabat negara. Dalam aspek tertentu, pernyataan ini bisa diterima. Namun demokrasi tidak berjalan di atas dasar subjektivitas dan perasaan, melainkan hukum dan institusi. Demokrasi yang baik adalah demokrasi yang berlandaskan konstitusi, bukan demokrasi jalanan atau demokrasi amarah.
Yang lebih berbahaya adalah ketika elite politik seperti Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, mengatakan bahwa DPR akan menindaklanjuti surat tersebut sesuai mekanisme. Ini menunjukkan bahwa sebagian elite politik justru menganggap isu ini sebagai peluang negosiasi politik, bukan sebagai upaya menjernihkan kebingungan publik. DPR seharusnya menolak keras dan tegas surat itu sebagai bentuk makar politik. Bahwa forum purnawirawan bukan lembaga negara, tidak memiliki otoritas hukum, dan tidak punya standing konstitusional untuk mengintervensi lembaga tinggi negara.
Kita harus berani menyebut bahwa tindakan Forum Purnawirawan TNI bukan hanya inkonstitusional, tetapi subversif terhadap demokrasi. Mereka menggunakan status sosial mereka sebagai mantan prajurit untuk menekan lembaga negara agar menuruti kehendak politik pribadi. Ini adalah bentuk pelanggaran terhadap semangat netralitas TNI, sekaligus mengkhianati semangat reformasi yang telah dengan susah payah menjadikan militer kembali ke barak.
Gibran dipilih melalui mekanisme yang sah. Putusan Mahkamah Konstitusi—apa pun tafsir politiknya—adalah produk hukum yang mengikat. Ia tidak bisa dijadikan dasar untuk memakzulkan seseorang, apalagi yang tidak punya peran dalam keputusan tersebut. Justru jika kita memaksakan pemakzulan berdasarkan putusan MK, maka kita sedang menciptakan preseden hukum yang sangat berbahaya. Sebab dengan begitu, setiap pejabat negara bisa dijatuhkan hanya karena keputusan hukum yang tak disukai.
Lebih menggelikan lagi adalah ketika unggahan anonim dari akun “fufufafa” dijadikan bahan pertimbangan moral. Apakah negara ini hendak tunduk pada narasi-narasi gelap yang tidak jelas sumbernya? Bukankah selama ini kita menyerukan agar demokrasi didasarkan pada informasi yang kredibel dan akuntabel? Jika akun anonim bisa menjatuhkan seorang wakil presiden, maka demokrasi kita telah selesai diganti dengan algoritma dan linimasa.
Untuk itu, penting bagi masyarakat sipil, media, akademisi, dan elite politik yang masih waras untuk bersikap. Usulan pemakzulan Gibran harus dihentikan secara tegas dan terang. DPR harus menyatakan bahwa usulan tersebut tidak memenuhi syarat konstitusional, dan tidak layak dilanjutkan dalam bentuk apa pun. Jika DPR tidak bersikap, maka mereka sedang membiarkan konstitusi diinjak-injak oleh kelompok yang merasa punya hak karena masa lalu mereka di militer.
Dan kepada Forum Purnawirawan, kita berikan pelajaran: bahwa negara ini telah berubah. Republik ini tidak lagi bisa dikendalikan oleh desakan kelompok yang hidup dalam nostalgia otoritarianisme. Demokrasi menuntut semua warga, termasuk pensiunan jenderal, untuk tunduk pada hukum, pada proses konstitusional, dan pada rasionalitas publik. Bukan pada kemauan sendiri atau agenda politik pribadi.
Purnawirawan seharusnya menjadi teladan dalam menjaga etika politik dan ketertiban konstitusional. Bukan menjadi alat penyulut krisis atau sumber legitimasi untuk tindakan politik jalanan yang tidak berdasar. Jika mereka merasa punya aspirasi, salurkan lewat jalur politik yang sah, bukan dengan ancaman, tekanan, atau surat sakti yang bernada ultimatum.
Wacana pemakzulan Gibran bukan hanya tak berdasar, tapi juga cermin kebangkrutan politik sebagian kelompok elite yang kehilangan cara untuk berkompetisi secara sehat. Ketika tidak bisa menang di kotak suara, mereka mencoba menggulingkan melalui jalur tikungan. Ini bukan hanya tidak etis. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat yang telah memilihnya.
Dan rakyat pun tidak bodoh. Mereka mencatat siapa yang benar-benar memperjuangkan kepastian hukum dan stabilitas negara, dan siapa yang hanya ingin memperkeruh suasana demi ambisi pribadi. Gibran adalah Wakil Presiden Republik Indonesia yang sah. Dan selama tidak ada satu pun pelanggaran hukum yang bisa dibuktikan di hadapan hukum dan konstitusi, maka tidak ada satu kekuatan pun termasuk forum purnawirawan yang berhak menurunkannya.
Jika narasi seperti ini dibiarkan hidup, maka esok lusa siapa pun bisa dimakzulkan hanya karena tak disukai oleh sekelompok elite kecewa. Dan pada titik itu, demokrasi Indonesia benar-benar runtuh bukan karena kudeta bersenjata, tapi karena pembiaran terhadap kegilaan politik yang dibiarkan hidup di ruang publik.
Kini saatnya kita berdiri, bersuara, dan menyatakan dengan tegas: pemakzulan Gibran adalah langkah salah, tidak konstitusional, dan bernuansa makar. Siapa pun yang mendorongnya harus diingatkan bahwa republik ini tidak boleh diperjualbelikan demi kepentingan segelintir orang. Konstitusi bukan mainan. Dan kekuasaan tidak bisa direbut dengan ancaman ia hanya bisa dimenangkan lewat pemilu yang sah. (firta/dp)
Apa Reaksi Anda?






