Kaesang, Jokowi, dan PSI: Antara Dinasti, Regenerasi, dan Rekonstruksi Partai Baru

Kaesang, Jokowi, dan PSI: Antara Dinasti, Regenerasi, dan Rekonstruksi Partai Baru

Kaesang, Jokowi, dan PSI: Antara Dinasti, Regenerasi, dan Rekonstruksi Partai Baru

Kaesang, Jokowi, dan PSI: Antara Dinasti, Regenerasi, dan Rekonstruksi Partai Baru

Penulis Widodo Sihotang  |  Mahasiswa Universitas Putra Abadi Langkat

detakpolitik.com, JAKARTA - Jakarta kembali menjadi pusat perhatian ketika Kaesang Pangarep, putra bungsu mantan Presiden Joko Widodo, mengumumkan bahwa dirinya kembali mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Dalam sebuah pernyataan terbuka yang disampaikan dari Kantor DPP PSI di Jakarta pada Sabtu, 21 Juni 2025, Kaesang menyatakan secara tegas bahwa ayahnya, Jokowi, tidak akan ikut dalam bursa calon ketua umum PSI. Ia mengatakan bahwa komunikasi pribadi dengan sang ayah telah berlangsung intens selama seminggu terakhir, dan hasilnya jelas: tidak akan ada pertarungan ayah-anak dalam perebutan pucuk pimpinan PSI. Bagi sebagian kalangan, ini adalah langkah etis dan simbolis yang layak diapresiasi. Namun, bagi yang lebih kritis, pernyataan ini hanya mempertegas agenda besar yang lebih dalam dari sekadar siapa memimpin siapa.

Kaesang menyampaikan keyakinan bahwa saat ini adalah waktunya anak muda untuk memimpin. Narasi ini bukanlah hal baru, namun kali ini datang dari figur politik yang telah memimpin partai selama hampir dua tahun terakhir. Dalam usianya yang masih muda, Kaesang berhasil menggalang dukungan dari 10 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan 75 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PSI se-Indonesia. Sebuah angka yang menunjukkan konsolidasi kekuatan yang mengesankan untuk partai yang masih tergolong muda dan kerap dianggap sebagai partai ‘media darling’ tanpa basis massa yang solid.

Namun perlu digarisbawahi bahwa pencalonan kembali Kaesang ini tidak lepas dari bayang-bayang besar seorang ayah yang pernah menjadi Presiden dua periode dan masih memiliki pengaruh kuat dalam peta politik nasional. Maka, ketika Kaesang menyebut bahwa ayahnya tidak akan maju karena “tidak mungkin anak dan bapak saling berkompetisi,” publik mungkin akan tersenyum, tetapi dalam diam bertanya: mungkinkah Jokowi tidak berada di balik layar, menjadi kingmaker sesungguhnya, bukan hanya bagi Kaesang, tetapi juga bagi PSI?

Secara formal, Jokowi memang belum bergabung secara resmi dengan partai manapun setelah pemecatannya dari PDIP pada Desember 2024. Tetapi berbagai manuver politik, pernyataan publik, dan gestur-gestur simbolik telah menunjukkan bahwa dirinya telah lebih condong kepada PSI dibandingkan partai-partai lain, termasuk PPP yang sempat disebut-sebut membuka peluang bagi kehadiran Jokowi. Ketika Jokowi dengan enteng berkata, “Saya di PSI saja lah,” dunia politik tanah air pun bergetar. Ini bukan sekadar preferensi personal, melainkan sinyal politik yang jelas bahwa PSI telah menjadi wahana baru tempat Jokowi menaruh harap untuk masa depan politik anaknya—dan mungkin juga legacy dirinya sendiri.

Dalam dinamika internal PSI, dukungan terhadap Kaesang tidak hanya menunjukkan kepercayaan terhadap regenerasi, namun juga kedekatan emosional dan loyalitas struktural terhadap nama besar Jokowi. PSI selama ini memang dikenal sebagai partai yang getol mendukung kebijakan-kebijakan Jokowi selama menjadi presiden. Mereka tampil di media sosial sebagai pembela paling vokal, bahkan di saat partai besar lain lebih berhati-hati atau menjaga jarak. Dalam konteks ini, mengangkat Kaesang sebagai ketua umum bukanlah langkah ideologis semata, melainkan konsolidasi jaringan, kekuasaan simbolik, dan memanfaatkan kapital politik Jokowi yang masih kuat di tengah rakyat.

Namun, di balik semua ini, publik juga harus kritis: apakah kemunculan Kaesang dan dukungan besar terhadapnya merupakan manifestasi dari semangat anak muda, atau justru bentuk baru dari dinasti politik yang selama ini dikhawatirkan oleh para pejuang demokrasi?

PSI, sebagai partai yang dahulu lahir dari semangat anti-kemapanan dan menjanjikan politik baru, kini mulai memperlihatkan wajah lain. Wajah yang menyambut dengan tangan terbuka kekuatan lama dengan kemasan muda. Apakah ini salah? Tidak sepenuhnya. Dalam politik, strategi adalah segalanya. Namun, idealisme yang selama ini dikibarkan PSI bisa tercederai jika partai ini sepenuhnya berubah menjadi alat bagi satu klan politik saja.

Analisis politik tidak bisa dilepaskan dari konteks elektoral. PSI gagal masuk Senayan pada Pemilu 2024, namun perolehan suaranya naik signifikan dibandingkan pemilu sebelumnya. Ini mengindikasikan bahwa ada ceruk pemilih, khususnya anak muda perkotaan dan kelas menengah melek media sosial, yang bisa digarap. Kaesang, dengan wajah muda, gaya santai, dan akses langsung ke kekuatan besar Jokowi, tentu menjadi simbol yang sangat menjual untuk menggaet ceruk itu. Dengan kehadiran tokoh-tokoh besar lain yang diklaim akan segera masuk PSI—walau masih misterius—partai ini tampaknya sedang menyiapkan lompatan besar menuju Pemilu 2029.

Namun tantangan besar tetap ada. PSI harus menjawab keraguan publik terhadap independensinya. Jika PSI benar-benar hendak menjadi partai masa depan, ia harus melepaskan ketergantungan penuh pada satu figur atau keluarga politik. PSI harus menunjukkan bahwa partai ini bukan sekadar wahana transisi dari Jokowi ke Kaesang, melainkan wadah terbuka untuk berbagai kelompok muda progresif dari berbagai latar belakang. Kaesang pun harus membuktikan bahwa dirinya bukan hanya anak presiden yang menikmati panggung gratis, melainkan pemimpin yang visioner dan bekerja keras membangun partai dari bawah.

Dari sisi lain, keengganan Jokowi masuk ke PPP juga tak kalah menarik untuk dicermati. Meski PPP memiliki sejarah panjang dalam panggung politik nasional, Jokowi melihat tidak ada ruang yang cocok bagi dirinya di partai tersebut. Ini bisa dimaknai bahwa PPP tidak cukup lentur untuk dijadikan wahana baru bagi proyek politik pasca-kepresidenannya. Pilihan Jokowi terhadap PSI—walaupun belum formal—menunjukkan bahwa dia melihat potensi yang lebih besar, lebih segar, dan lebih bisa dibentuk dari awal.

Jika dibandingkan, PSI adalah kanvas kosong yang siap dilukis ulang oleh Jokowi dan Kaesang, sedangkan PPP adalah lukisan tua yang terlalu banyak retakan dan coretan. Jokowi, yang dikenal sebagai “ahli manajemen citra,” tentu lebih memilih bekerja dari dasar bersama partai kecil dengan potensi ledakan besar, ketimbang bertarung dalam dinamika internal partai lama yang sarat kepentingan dan konflik.

Namun keputusan ini juga menyimpan risiko besar. PSI akan kehilangan narasi anti-dinasti yang dahulu mereka banggakan. Dukungan penuh terhadap Kaesang dan kedekatan dengan Jokowi bisa memunculkan persepsi bahwa PSI hanya menjadi satelit keluarga Jokowi. Dalam politik jangka pendek, ini mungkin tidak menjadi masalah. Namun dalam jangka panjang, jika partai ini gagal mengembangkan identitas kolektif yang lebih luas dari sekadar ‘partainya Kaesang,’ maka eksistensi PSI bisa terancam stagnasi bahkan disorientasi.

Publik juga perlu menyadari bahwa fenomena ini bukan sekadar soal siapa yang duduk di kursi ketua umum. Ini tentang bagaimana arah baru politik Indonesia mulai terbentuk dari sisa kekuasaan lama. Jokowi, dengan segala pengaruh dan jaringan yang ia punya, tampaknya masih ingin berperan, bukan sebagai pemain utama, tapi sebagai pengatur arus di belakang layar. Kaesang, sadar atau tidak, menjadi perpanjangan dari visi politik itu.

Maka pertanyaan pentingnya adalah: apakah Kaesang mampu berdiri sendiri, atau akan terus berada dalam bayang-bayang ayahnya? Apakah PSI mampu menjadi partai modern berbasis ide, atau akan menjadi partai dinasti berbasis popularitas?

Kesimpulan sementara yang bisa ditarik dari perkembangan ini adalah bahwa politik Indonesia sedang mengalami fase transisi yang rumit. Transisi dari elite lama ke elite baru, dari patronase ke meritokrasi yang belum matang, dari partai ideologis ke partai mediatik. PSI berada di tengah pusaran ini, dengan Kaesang sebagai tokoh utama dalam babak barunya. Masyarakat tentu berharap bahwa regenerasi yang digaungkan bukan sekadar kosmetik politik. Karena pada akhirnya, masa depan demokrasi Indonesia tidak akan ditentukan oleh usia pemimpinnya, tetapi oleh integritas, kapasitas, dan keberpihakan sejatinya kepada rakyat. (Widodo/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow