Drama pasien IGD, Ebenezer alias Noel kemarin sehat walafiat, besok setelah OTT mendadak tumbang
Drama pasien IGD, Ebenezer alias Noel kemarin sehat walafiat, besok setelah OTT mendadak tumbang

detakpolitik.com, Jakarta - Ada satu pola klasik dalam sejarah politik Indonesia yang sepertinya tidak pernah lekang oleh waktu, bahkan seolah menjadi resep rahasia yang diwariskan dari satu generasi koruptor ke generasi berikutnya. Pola itu adalah “jurus sakit mendadak” setelah tertangkap tangan. Begitu disergap KPK, tiba-tiba perut mules, jantung berdebar, dada sesak, dan entah bagaimana bisa langsung terbaring dengan kabel EKG menempel di dada. Hebatnya, drama ini hampir selalu terjadi dengan tempo yang sempurna: kemarin sehat walafiat, besok setelah OTT mendadak tumbang. Dan kini, pahlawan dadakan jurus sakit itu bernama Immanuel Ebenezer alias Noel, Wakil Menteri Ketenagakerjaan yang sempat dielu-elukan sebagai relawan garis keras Jokowi, dan kini bertransformasi menjadi “drama pasien IGD” setelah KPK menciduknya.
Mari kita beri tepuk tangan dulu untuk kreativitasnya. Bayangkan, publik disuguhi foto Noel terbaring, bertelanjang dada dengan singlet, kabel EKG menempel, wajah pucat-pucat dibuat-buat seakan-akan tubuhnya tak kuasa menanggung beratnya kehidupan. Tapi sayangnya, semua orang sudah terlalu sering menonton sinetron serupa. Rakyat sudah hafal plotnya: pejabat kena OTT → pura-pura sakit → masuk rumah sakit mewah atau RS rujukan elite → pengacara bilang “klien kami butuh perawatan serius” → sidang ditunda → kasus jadi lambat. Itu pola basi. Bedanya, kali ini Noel tampaknya lupa bahwa masyarakat Indonesia sudah lebih pintar menertawakan drama daripada terjebak iba.
Apalagi, Noel bukanlah sosok yang tidak dikenal. Dia pernah berdiri lantang membela Jokowi, meneriakkan jargon perubahan, bahkan menohok orang-orang yang dianggap lawan politik. Ia menahbiskan diri sebagai relawan, aktivis, dan kini pejabat. Lalu, ketika tangan KPK menciduknya dalam dugaan pemerasan terkait sertifikasi K3, bukannya menunjukkan sikap ksatria untuk bertanggung jawab, ia malah memilih jalan murahan: rebahan pura-pura sakit. Pertanyaannya sederhana: sakit apa, Bang? Sakit hati karena tertangkap basah? Sakit perut karena uang hasil “pungli” tak sempat dipakai? Atau sakit karena melihat puluhan mobil mewah dan motor Ducati kesayangan diseret keluar garasi KPK?
Fenomena “pura-pura sakit” ini sesungguhnya adalah penghinaan terhadap publik. Rakyat sedang menunggu transparansi kasus, menunggu pengungkapan jaringan, menunggu keadilan ditegakkan. Tapi apa yang disuguhkan? Drama murahan seperti opera sabun, seakan KPK berubah jadi sinetron jam prime time. Apalagi kalau kita ingat, kasus ini bukan sepele. Bayangkan, urusan sertifikasi K3 yang harusnya soal keselamatan nyawa pekerja justru jadi ladang pemerasan. Ini bukan cuma korupsi biasa, tapi bentuk paling rendah dari moral pejabat. Dan ketika ditanya, jawabannya apa? “Saya sakit.”
Lucunya, kata “sakit” di negeri ini sering dipakai sebagai tameng. Sakit jadi jembatan untuk mengulur waktu, sakit jadi alasan untuk lari dari tanggung jawab. Padahal, tidak ada sakit yang lebih berat daripada sakit hati rakyat karena merasa dikhianati. Tidak ada sakit yang lebih perih daripada sakit kepala buruh yang setiap hari bekerja keras, tapi keselamatan mereka diperdagangkan oleh pejabat. Maka, jika Noel benar-benar sakit, biarlah sakitnya bukan karena penyakit medis, tapi karena luka moral yang ia ciptakan sendiri.
Dan kita harus mengakui, drama Noel ini punya nilai hiburan tersendiri. Publik jadi punya bahan tertawaan: bagaimana mungkin orang yang begitu gagah, begitu keras berteriak tentang keadilan, kini terbaring seakan-akan sedang menunggu suntikan infus? Hahaha, pura-pura sakit saja dulu Noel, pura-pura lemah, pura-pura tidak bisa menjawab pertanyaan penyidik. Karena nanti, ketika putusan hakim datang, tidak ada lagi ruang untuk pura-pura. Jeruji besi tidak mengenal alasan medis. Penjara tidak peduli apakah kau sedang pilek atau sedang stres. Penjara hanya tahu satu hal: kau harus membayar kesalahanmu.
Sungguh ironis. Orang yang dulu gemar menuding orang lain, kini menjadi contoh telanjang bagaimana kekuasaan bisa menggerogoti idealisme. Orang yang dulu mengibarkan bendera moral, kini menyelinap ke balik selimut rumah sakit untuk menghindari tanggung jawab. Dari relawan Jokowi ke wamenaker, lalu ke pasien IGD palsu, dan akhirnya mungkin ke narapidana. Transformasi paling cepat sepanjang sejarah. Kalau ini dibuat jadi film, judulnya pas sekali: Dari Relawan ke Rebah-an.
Kita juga tidak boleh lupa, drama sakit ala Noel ini muncul di tengah penyitaan luar biasa: belasan hingga puluhan kendaraan mewah, motor sport, mobil keren, semua diangkut KPK. Kontras sekali dengan adegan tubuh ringkih yang dipertontonkan. Di satu sisi, ada kemewahan vulgar yang terkumpul di garasi pejabat. Di sisi lain, ada wajah pucat yang ingin dikasihani publik. Seakan-akan ingin berkata: “Lupakan mobil-mobil itu, lihatlah saya yang sakit ini.” Padahal publik justru melihat kebalikannya: mobil-mobil itulah bukti kesehatan finansialnya yang luar biasa, hasil dari mesin pemerasan yang sehat walafiat bekerja.
Mari kita bicara lebih keras. Jika Noel benar-benar punya nyali, ia harus berdiri tegak, menghadap kamera, dan berkata: “Ya, saya salah, dan saya siap bertanggung jawab.” Itu baru namanya lelaki. Itu baru namanya aktivis yang konsisten. Tapi, apa yang ia pilih? Jalan licik yang sudah basi: pura-pura sakit. Maka jangan salahkan publik jika sekarang ia jadi bahan lelucon. Jangan salahkan media jika mereka menaruh fotonya terbaring dengan judul besar-besar: “Pahlawan Korupsi Tumbang di IGD.” Karena memang itulah yang pantas.
KPK sendiri tampak tenang, tidak terjebak drama. Mereka bilang tidak tahu-menahu soal foto itu, karena fokus mereka adalah pemeriksaan intensif. Artinya, sekeras apapun drama dimainkan, mesin hukum tetap berjalan. Foto EKG, singlet putih, wajah pucat semua itu tidak akan menghentikan jarum jam 1x24 KPK untuk menetapkan status hukum. Publik hanya bisa menunggu, sambil tersenyum sinis melihat jurus basi kembali dipakai.
Presiden pun sudah angkat suara, memberi lampu hijau untuk proses hukum. Itu berarti, tidak ada jalan lain kecuali Noel menghadapi kenyataan. Jadi, buat apa lagi berpura-pura? Rumah sakit tidak akan bisa melindungi selamanya. Pada akhirnya, pintu penjara lebih pasti daripada pintu IGD. Dan ketika pintu penjara itu menutup, barulah mungkin Noel akan benar-benar sakit. Sakit hati, sakit kehilangan kebebasan, sakit karena menyadari bahwa semua drama sebelumnya hanyalah sia-sia.
Dan mari kita akhiri dengan satu pesan: rakyat sudah muak dengan pola lama. Kalau pejabat salah, hadapi dengan kepala tegak. Jangan sembunyi di balik ranjang rumah sakit. Jangan jadikan sakit sebagai komoditas politik. Jangan kira rakyat akan percaya begitu saja pada foto-foto murahan yang beredar. Karena di era sekarang, rakyat lebih cepat menertawakan daripada mengasihani. Dan ketawa rakyat jauh lebih tajam daripada vonis hakim.
Jadi, silakan pura-pura sakit dulu Noel. Rebahanlah sepuasmu, pakailah alat EKG itu sebagai properti. Karena setelah ini, rebahanmu tidak lagi di ranjang rumah sakit, tapi di kasur tipis lapas. Dan percayalah, di sana tidak ada dokter pribadi, tidak ada obat penenang, tidak ada drama. Hanya ada tembok dingin dan rasa sesal yang tidak ada resep medisnya. Hahahaha. (fitri/dp)
Apa Reaksi Anda?






