“NEGARA DALAM BAHAYA: KETIKA BANGSA SENDIRI YANG MENYERANG DARI DALAM”
“NEGARA DALAM BAHAYA: KETIKA BANGSA SENDIRI YANG MENYERANG DARI DALAM”

“NEGARA DALAM BAHAYA: KETIKA BANGSA SENDIRI YANG MENYERANG DARI DALAM”
Ditulis Hengki Tamando Sihotang | Peneliti IOCSCIENCE
detakpolitik.com, Jakarta - Di tengah gelombang perubahan dan modernisasi, di saat negara ini sedang berupaya membangun jembatan masa depan dengan fondasi yang kukuh, justru kita mendapati realitas yang menyakitkan: ancaman terbesar terhadap keutuhan bangsa bukan datang dari luar, melainkan dari dalam diri kita sendiri. Dari lisan-lisan yang tak bertanggung jawab, dari jari-jari yang ringan menyebar fitnah, dari oknum elite yang tega membakar kepercayaan rakyat demi ambisi pribadi, dan dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan demokrasi hanya untuk menjatuhkan pemerintahan sah.
Kita kini menyaksikan suatu pola baru dalam lanskap politik Indonesia: serangan sistematis terhadap legitimasi negara dan pejabat publik melalui narasi beracun yang menyusup ke ruang publik. Mantan Presiden Joko Widodo, yang telah menyelesaikan dua periode kepemimpinannya dengan catatan pembangunan yang tak sedikit, justru terus diserang dengan tuduhan yang tak berlandas, dari mulai ijazah palsu hingga tudingan bahwa dirinya merusak demokrasi. Tidak peduli bahwa Mahkamah Konstitusi telah memverifikasi data, bahwa KPU, kampus, hingga pengadilan telah menolak berbagai gugatan, para penyebar hoaks ini terus menggiring narasi, seolah kebenaran adalah sesuatu yang bisa dibentuk lewat jumlah klik dan komentar, bukan oleh fakta dan hukum.
Kita sedang berada di zaman ketika fitnah dibungkus dengan kemasan “analisis,” ketika serangan pribadi dibungkus dengan jargon “kritik kebijakan,” dan ketika mereka yang tak tahan melihat negara ini maju mulai membenturkan rakyat dengan institusi negara sendiri. Demokrasi yang dibanggakan justru diperalat sebagai alat sabotase: bila hukum menjerat koruptor, itu disebut kriminalisasi. Bila ada pemimpin yang tegas menindak penyelewengan, itu dituding otoritarian. Bila aparat bekerja mengusut aliran uang haram, mereka dituding antek kekuasaan.
Retorika-retorika ini, yang terus digemakan oleh sebagian tokoh, akademisi frustrasi, serta influencer politik yang haus perhatian, sesungguhnya adalah racun bagi keberlangsungan republik. Mereka tidak sedang mengkritik, mereka sedang membakar. Mereka tidak sedang mengoreksi, mereka sedang menghancurkan legitimasi sistem. Mereka tak lagi berjuang atas nama rakyat, tapi atas nama dendam dan ambisi politik yang tertolak oleh suara pemilu.
Lihatlah bagaimana setiap upaya pemberantasan korupsi oleh penegak hukum kini dikemas ulang sebagai upaya pembungkaman. Setiap penangkapan terhadap pejabat, apalagi yang berasal dari partai oposisi, langsung disambut dengan narasi "kriminalisasi politik." Seolah, menjadi oposisi adalah surat sakti untuk kebal hukum. Seolah penegakan hukum harus menunggu suasana politik sejuk dan ideal yang tidak pernah akan ada.
Padahal, dalam realitasnya, penegakan hukum tak pernah mengenal warna partai. Fakta menunjukkan, baik partai pendukung maupun penentang pemerintah sama-sama memiliki kader yang diproses hukum. Namun, dalam ruang publik yang keruh oleh polusi informasi, kebenaran bukan lagi sesuatu yang dilihat, tetapi sesuatu yang diyakini berdasarkan afiliasi politik. Jika seseorang adalah "lawan pemerintah," maka ia dianggap otomatis suci. Jika seseorang adalah "pejabat," maka ia otomatis bersalah. Inilah pembalikan logika publik yang berbahaya. Ini adalah jalan menuju kehancuran moral politik bangsa.
Belum lagi isu-isu tendensius lain yang terus digoreng: tudingan bahwa pemerintah mengendalikan media, bahwa pemilu dicurangi sistematis, bahwa MK sudah tidak independen, bahkan yang paling keji: tuduhan bahwa Presiden sedang sakit parah atau bahkan telah tiada, hanya karena ia tidak tampil dalam satu acara. Sampai pada titik ini, kita harus bertanya: seberapa dalam kebencian itu telah menggerogoti nalar sebagian dari bangsa ini?
Kebencian yang dibungkus dengan narasi “kritis” telah menjadi industri yang sangat menguntungkan bagi para pembuat konten. Di YouTube, TikTok, hingga podcast-podcast politik, berita bohong dan konspirasi selalu punya penonton. Semakin liar tuduhan, semakin tinggi engagement. Dan semakin tinggi engagement, semakin besar uang yang mengalir. Di tengah ekonomi digital yang berbasis perhatian, kebenaran tak lagi bernilai; yang penting viral.
Ironisnya, sebagian dari penikmat dan penyebar hoaks itu adalah rakyat biasa yang sesungguhnya menjadi korban. Mereka tidak sadar bahwa dengan membagikan konten yang menjelekkan institusi negara tanpa fakta, mereka sedang ikut menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap demokrasi. Mereka tak sadar bahwa dengan ikut menyebar tuduhan palsu terhadap tokoh nasional, mereka sedang mencemari nama bangsa sendiri di mata dunia. Kita menyaksikan semacam bunuh diri moral massal dimana rakyat diseret untuk ikut menjatuhkan martabat bangsanya sendiri demi kepuasan sesaat yang bersifat digital.
Bagaimana kita sampai di titik ini?
Sebagian jawabannya ada pada elit kita yang gagal memberikan contoh integritas. Ketika ada mantan pejabat atau tokoh nasional yang lebih sibuk memelihara trauma politik ketimbang merawat demokrasi, maka mereka menjadi sumber infeksi ketidakpercayaan publik. Ketika akademisi lebih asyik menjadi selebriti media sosial daripada menjadi penjaga akal sehat publik, maka sains dan logika tak lagi memiliki tempat. Dan ketika partai-partai politik membiarkan kadernya menyebar narasi destruktif hanya karena kalah kuasa, maka sejatinya kita sedang menghancurkan rumah besar bernama republik.
Ingatlah: tidak ada negara di dunia ini yang tumbang karena miskin. Negara tumbang karena hilangnya kepercayaan. Kepercayaan itu bukan hanya kepada pemimpin, tapi kepada sistem, kepada hukum, kepada demokrasi itu sendiri. Dan hari ini, virus paling mematikan yang menggerogoti Indonesia bukan korupsi, bukan inflasi, bukan pula intervensi asing—melainkan hilangnya rasa percaya antara rakyat dan negara, yang dirusak oleh narasi-narasi palsu dari anak bangsa sendiri.
Kita harus bangkit. Kita tidak boleh diam saat negara ini dibunuh pelan-pelan oleh tangan kita sendiri. Sudah saatnya rakyat yang masih waras, yang masih cinta tanah air, yang masih menghargai konstitusi, untuk mengambil peran. Jangan biarkan ruang publik dikuasai oleh para pembenci dan pembohong. Jangan biarkan demokrasi dijadikan senjata oleh mereka yang gagal di panggung politik. Jangan biarkan suara mayoritas dibungkam oleh kebisingan minoritas yang gaduh tapi destruktif.
Apa yang kita butuhkan sekarang bukan sekadar pembelaan terhadap pejabat, tapi pembelaan terhadap kebenaran. Bukan karena Presiden Jokowi tak boleh dikritik, tapi karena kritik harus jujur dan berdasarkan fakta. Bukan karena Gibran tak bisa disorot, tapi karena isu pemakzulan harus berdasarkan konstitusi, bukan sentimen elit tua yang takut kehilangan pengaruh. Bukan karena pemerintah selalu benar, tapi karena sistem harus diberi kesempatan bekerja tanpa terus-menerus dicurigai sebagai alat penindas.
Kita perlu literasi publik. Kita perlu media yang bertanggung jawab. Kita perlu elite yang lebih banyak berpikir jernih daripada melontarkan sindiran licik. Kita perlu rakyat yang berani berkata “cukup” terhadap hoaks dan kebencian. Kita perlu generasi baru yang lebih sibuk bekerja daripada bergosip soal konspirasi negara.
Bangsa ini tidak sempurna, tapi bukan berarti pantas dihancurkan. Pemerintah bisa salah, tapi bukan berarti harus dijatuhkan. Kritik dibutuhkan, tapi bukan dalam bentuk penghinaan. Demokrasi harus dijaga, bukan dirusak atas nama kebebasan absolut. Kita punya tanggung jawab moral untuk mewariskan republik ini kepada generasi mendatang dalam kondisi utuh, bukan dalam reruntuhan akibat saling caci dan tuduh.
Sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa-bangsa besar yang runtuh, runtuh bukan karena kalah perang, tapi karena mereka kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri. Jangan ulangi kesalahan itu. Mari kita kembalikan kehormatan Indonesia. Mulailah dari menolak menyebar fitnah. Mulailah dari menghormati proses hukum. Mulailah dari menghargai perbedaan pendapat tanpa membakar institusi. Dan yang paling penting, mulailah dari diri sendiri.
Karena pada akhirnya, yang bisa menyelamatkan Indonesia bukan orang luar, bukan lembaga internasional, bukan pahlawan super tapi rakyat Indonesia sendiri. Rakyat yang sadar. Rakyat yang waras. Rakyat yang cinta damai dan kebenaran. (Hengki/dp)
Apa Reaksi Anda?






