Roy Suryo, Tifa, Rismon, dan TPUA, bersiaplah. Kesunyian Terakhir Para Penuduh: Epilog untuk Sebuah Fitnah yang Terbakar oleh Kebenaran
Roy Suryo, Tifa, Rismon, dan TPUA, bersiaplah. Kesunyian Terakhir Para Penuduh: Epilog untuk Sebuah Fitnah yang Terbakar oleh Kebenaran

detakpolitik.com, Jakarta - Mereka datang membawa keraguan, berjalan jumawa dengan keranjang kosong, dan menyebutnya kebenaran. Tapi seperti biasa, dalam sejarah bangsa yang telah terlalu lama dihuni para tukang bicara tanpa keberanian bekerja, kita tahu: fitnah itu tak pernah bisa tumbuh dalam ladang yang basah oleh nurani. Ia hanya menyala di padang ilalang kering para pencari sensasi.
Kini kita tiba di saat ketika dalang-dalang persekongkolan retorika itu mulai menggigil, bukan karena dingin malam, tapi karena datangnya pagi. Dan pagi itu tiba bersama satu baris kalimat dari seorang saksi yang datang bukan sebagai pemilik kekuasaan, melainkan pemilik nurani: Wakil Ketua Umum Projo, Freddy Damanik. Ia hadir bukan membawa ancaman, tapi keterangan. Dan justru dari keterangan itulah, para pendakwa mulai kehilangan suaranya sendiri.
Roy Suryo. Nama itu kini bergema seperti lonceng tua yang usang. Dahulu menggemakan keahlian telematika; kini menggema dalam ruang pemeriksaan. Terlalu lama ia hidup di dunia pixel dan editan, hingga lupa bahwa dunia nyata memiliki institusi, memiliki hukum, dan memiliki tanggung jawab. Roy ingin dikenal sebagai pemilik kebenaran digital, padahal yang ia miliki hanya keberanian berkomentar tanpa data primer. Ia mengira layar bisa menggantikan fakta, mengira suara viral bisa membungkam sejarah. Tapi hari ini, dia sedang menulis bab akhir dari kisah lucu tentang intelektual yang gagal.
Tifa. Nama yang selalu terasa seperti gema dari ruangan seminar yang tak laku. Ia berdiri seakan menggendong moralitas publik, tapi lupa bahwa bahu yang lemah tak pernah cukup untuk menopang tanggung jawab sebesar itu. Ia tampil seolah-olah berpihak pada rakyat, tapi justru ikut menebar racun ke tengah masyarakat yang mulai pulih dari luka-luka kebodohan kolektif. Tifa tampaknya lupa bahwa republik ini tidak sedang mencari provokator, tapi penghubung kebenaran.
Dan Rismon. Ah, sang pengutip entah dari mana. Ia melompat dari satu pernyataan ke pernyataan lain, menggantungkan kepercayaan diri pada ucapan seorang mantan rektor yang bahkan kini diragukan integritasnya. Rismon hidup dari ledakan sesaat—menitipkan popularitasnya pada sorotan media dadakan. Tetapi sekarang, ketika penyidik sudah mencatat dan mencicil pertanyaan demi pertanyaan, Rismon mulai terbata. Sebab memang begitulah orang yang tak pernah bersahabat dengan fakta: ketika fakta datang, suara mereka justru yang pertama menghilang.
Dan yang lebih tragis lagi: TPUA, lembaga yang ingin menampilkan dirinya sebagai “pembela hukum dan rakyat”. Tapi siapa sangka, mereka justru tampil sebagai pelanggar etika dasar hukum. Alih-alih mengedukasi rakyat, mereka justru meracuni publik dengan narasi mentah. Mereka menyebut diri mereka pencari kebenaran, padahal tidak lebih dari pelacak sensasi. TPUA adalah contoh klasik dari organisasi yang kehilangan arah, lupa tujuan, dan sekarang tertabrak oleh kenyataan bahwa hukum bukanlah panggung sandiwara.
Mari kita bicara tentang waktu. Sebab waktu adalah hakim yang paling setia. Ia mungkin lambat, tapi ia adil. Dan waktu telah mulai memisahkan mana suara yang tulus, mana gema yang palsu. Ketika Freddy Damanik menjawab 42 pertanyaan penyidik, dia bukan sedang membersihkan nama Jokowi saja, tapi sedang mencabut akar fitnah dari ladang masyarakat. Ia sedang membantu publik memisahkan antara informasi dan infodemi.
Apa yang dituduhkan kepada Presiden Jokowi bukanlah hal remeh. Ini bukan sekadar pencemaran nama baik seorang individu. Ini adalah upaya sistematis untuk meretakkan fondasi kepercayaan publik terhadap negara. Dan ketika negara diserang dari dalam oleh retorika busuk seperti ini, maka sudah waktunya masyarakat tidak sekadar jadi penonton. Sudah waktunya kita bersikap. Tidak cukup hanya menyimak, kita harus menolak.
Sebab di balik isu ijazah ini, bukan ijazah yang dipertaruhkan. Yang benar-benar diserang adalah legitimasi demokrasi kita. Yang disasar bukan sekadar seorang presiden, tapi kepercayaan rakyat kepada sistem. Mereka ingin merobohkan istana bukan dengan tank dan peluru, tapi dengan komentar bodoh dan kutipan viral. Dan itu jauh lebih berbahaya, sebab bom suara lebih cepat menyebar daripada granat.
Tapi yang lebih menyedihkan, fitnah ini tidak datang dari orang luar negeri, tidak datang dari kelompok pemberontak bersenjata. Fitnah ini datang dari mereka yang hidup dalam sistem yang sama, menikmati kemerdekaan yang sama, dan berjalan di jalanan yang dibangun oleh kebijakan yang sama. Mereka adalah cerminan orang yang lupa bersyukur, lupa berterima kasih, dan terlalu sibuk mencela untuk sempat membangun.
Hari ini, satu per satu wajah mereka akan dicatat dalam sejarah. Bukan sebagai pahlawan, bukan sebagai whistleblower, tapi sebagai pengacau informasi. Mereka akan duduk di meja yang sama, berbicara kepada penyidik yang sama, dan akhirnya bertemu dengan hukum yang sama. Hukum yang tidak bisa dibohongi oleh video editan, oleh narasi palsu, atau oleh nostalgia akan jabatan yang sudah lama pergi.
Dan ketika akhirnya satu per satu dari mereka masuk dalam daftar terperiksa, kita tahu satu hal: bahwa kebenaran mungkin lambat, tapi ia tidak pernah mati. Ia hanya diam, menunggu waktunya untuk menggulung semua kebodohan yang disusun rapi oleh para penuduh.
Kita tidak takut dengan kritik. Kritik adalah bagian dari demokrasi. Tapi kita harus marah ketika kritik berubah jadi fitnah. Kita harus melawan ketika argumen berubah jadi racun. Dan kita harus mencatat nama-nama mereka yang mencoba merobohkan negara ini bukan dengan senjata, tapi dengan kebohongan.
Jadi, untuk Roy Suryo, Tifa, Rismon, dan TPUA, bersiaplah. Ini bukan ancaman. Ini adalah peringatan bahwa waktu telah mulai bekerja. Dan ketika waktu selesai menulis catatannya, kalian tak akan dikenang sebagai pahlawan. Kalian hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah kekonyolan republik ini. Catatan yang dibaca dengan tawa getir dan ucapan, “Beginilah akhir dari mereka yang bermain-main dengan kebenaran.”
Dan bagi rakyat, ini adalah ajakan. Jangan percaya pada suara yang paling keras. Percayalah pada suara yang paling jujur. Sebab demokrasi bukan tentang siapa yang paling lantang, tapi siapa yang paling benar.
Bangsa ini terlalu besar untuk dihancurkan oleh orang kecil yang berpikir mereka cukup besar karena trending di Twitter. Tapi bangsa ini juga bisa hancur jika kita diam. Maka jangan diam. Lawan dengan akal. Lawan dengan bukti. Lawan dengan keberanian untuk menyebut fitnah sebagai fitnah. Sebab kalau tidak, hari ini akan jadi awal dari hancurnya rasionalitas publik.
Dan ketika itu terjadi, bukan cuma Jokowi yang jadi korban. Tapi kita semua. Kita, rakyat yang telah membangun bangsa ini dengan keringat dan doa. Kita, yang tidak rela melihat masa depan dirusak oleh orang-orang yang tak pernah mencintai negeri ini, hanya karena mereka kecewa pada hidup mereka sendiri.
Waktunya habis, Roy. Tifa. Rismon. TPUA. Kalian telah diberi panggung. Sekarang waktunya kalian turun, dan hadapi penonton yang tidak lagi tepuk tangan tapi menuntut pertanggungjawaban.
Dan panggung itu akan ditutup bukan dengan sorak, tapi dengan pasal. (Ruth/dp)
Apa Reaksi Anda?






