Pimpinan Tegas yang Dialamatkan Kepadanya Semakin Jauh, Presiden Prabowo Tersandera Kepentingan Politik? Sebuah Analisis Mendalam

Pimpinan Tegas yang Dialamatkan Kepadanya Semakin Jauh, Presiden Prabowo Tersandera Kepentingan Politik? Sebuah Analisis Mendalam

detakpolotik.com, JAKARTA - Ketika Prabowo Subianto akhirnya dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, banyak yang melihatnya sebagai puncak dari perjalanan panjang politik dan militernya. Sosok yang dikenal tegas, lugas, dan kadang meledak-ledak ini dianggap mampu membawa kepemimpinan yang berbeda dari para pendahulunya. Harapan itu lahir bukan hanya dari sejarah militernya, tetapi juga dari transformasi citra politik yang telah ia bangun dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak bergabung dengan pemerintahan Presiden Jokowi. Namun belakangan muncul kritik tajam, baik dari kalangan pengamat maupun oposisi, bahwa ketegasan yang dahulu dilekatkan padanya justru semakin menguap. Sebagian bahkan berani mengajukan hipotesa ekstrem alias fitnah Keji: Prabowo kini tersandera oleh kepentingan politik.

Apakah hipotesa ini berdasar? Atau justru merupakan penilaian prematur yang tidak memahami konteks kompleks pemerintahan? Untuk menjawabnya, kita perlu melakukan pembacaan kritis terhadap realitas politik, struktur kekuasaan, serta gaya kepemimpinan yang Prabowo tampilkan sejauh ini.

Prabowo, sejak awal masa kampanyenya, sudah menyadari bahwa gaya militeristik yang terlalu keras tidak dapat sepenuhnya diterjemahkan dalam praktik pemerintahan sipil. Ia menyadari bahwa seorang Presiden bukan komandan pasukan; dia adalah pemimpin dari rakyat yang majemuk. Ketegasan dalam konteks demokrasi tidak bisa lagi berarti perintah satu arah yang harus diikuti tanpa kritik. Dalam demokrasi, ketegasan harus diimbangi dengan sensitivitas terhadap dinamika sosial-politik dan kemampuan bernegosiasi.

Sebagai contoh, ketika Prabowo menghadapi gejolak elite partai koalisi yang berebut posisi dan pengaruh, banyak yang menilai ia terlalu kompromistis, terlalu akomodatif, dan tidak menunjukkan taring sebagaimana diharapkan. Tetapi mari kita telaah lebih dalam. Apakah seorang Presiden seharusnya serta merta menindak semua yang berseberangan atau membangkang dalam barisannya dengan tangan besi? Atau justru menunjukkan kepiawaian dalam meredam konflik melalui jalur diplomasi internal? Dalam banyak kasus, sikap diam atau langkah kompromi bukan berarti kelemahan, melainkan strategi.

Jika kita melihat pernyataan dan langkah Prabowo dalam beberapa bulan terakhir, tampak jelas bahwa ia sedang memainkan peran ganda: sebagai pemimpin eksekutif dan sekaligus penjaga keseimbangan koalisi yang sangat beragam. Politik Indonesia pasca-Reformasi adalah politik yang penuh dengan tawar-menawar, dan kekuasaan eksekutif tidak pernah bisa dilepaskan dari kepentingan legislatif dan partai-partai besar. Dalam situasi semacam itu, keinginan untuk "tegas" seringkali berbenturan dengan kebutuhan untuk tetap menjaga stabilitas.

Apalagi, Prabowo mewarisi warisan besar dari era Jokowi: stabilitas ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan kebijakan luar negeri yang cenderung non-blok dan pragmatis. Untuk mempertahankan dan melanjutkan warisan tersebut, Prabowo tidak bisa bergerak sendirian. Ia butuh jaringan loyalitas, bukan hanya dari militer, tetapi juga dari partai-partai politik, birokrasi sipil, dunia usaha, hingga masyarakat sipil. Dalam konteks inilah kompromi bukan tanda kelemahan, melainkan bagian dari strategi bertahan.

Isu bahwa Prabowo "tersandera kepentingan politik" sesungguhnya lahir dari persepsi publik yang terlanjur menempelkan bayangan idealisasi: bahwa Prabowo harus menjadi pemimpin yang keras, menertibkan semua, dan mengambil keputusan sepihak dengan cepat. Tetapi logika pemerintahan tidak sesederhana itu. Ketika ia memilih Gibran Rakabuming sebagai wakil presiden, misalnya, sebagian pihak menyebutnya sebagai bentuk tunduk pada dinasti politik. Namun kenyataannya, koalisi dengan Jokowi justru menjadi jembatan penting untuk membangun kesinambungan program dan kekuatan politik nasional yang solid menghadapi tantangan global. Dalam dunia nyata, kesetiaan terhadap negara kadang harus berwujud dalam bentuk aliansi yang tidak populis, namun strategis.

Kalau Prabowo memilih untuk menyapu bersih pembangkangan di internal koalisi dengan pendekatan keras, ia justru akan menciptakan friksi yang bisa menghambat jalannya pemerintahan. Sebaliknya, dengan menjaga stabilitas dan memastikan semua aktor politik tetap dalam orbit kekuasaan, ia mendapatkan keleluasaan untuk menjalankan program-program utamanya: ketahanan pangan, pertahanan nasional, dan diplomasi internasional. Ketegasan seorang presiden, dalam dunia kontemporer, bukan diukur dari seberapa keras ia menghukum lawan, tetapi dari seberapa jauh ia bisa menjaga komitmen awal tanpa kehilangan arah akibat tekanan elite.

Perlu juga disadari bahwa tuduhan bahwa Prabowo telah berubah atau kehilangan ketegasan kerap berasal dari kelompok yang sejak awal tidak menginginkannya naik ke tampuk kekuasaan. Mereka membandingkan Prabowo hari ini dengan Prabowo sepuluh atau dua puluh tahun lalu, tanpa memahami bahwa kedewasaan politik juga berarti kemampuan untuk menahan diri. Ketika ia tidak melakukan tindakan keras terhadap elite yang bermanuver, itu bukan karena ia takut atau tidak berdaya, melainkan karena ia paham bahwa tidak semua konflik harus dipecahkan dengan konfrontasi.

Prabowo juga menunjukkan ketegasan yang halus namun tegas dalam relasinya dengan dunia internasional. Dalam forum-forum global, ia tidak ragu menyuarakan posisi Indonesia yang independen. Ia menguatkan diplomasi pertahanan, membangun aliansi strategis tanpa menjadi subordinat kekuatan besar. Dalam hal ini, Prabowo menampilkan karakter pemimpin nasionalis yang tidak inferior, tetapi juga tidak arogan. Ia tidak mendramatisasi posisi Indonesia sebagai korban, tetapi mengartikulasikannya sebagai pemain penting yang harus dihormati.

Dalam soal kebijakan pertahanan, Prabowo juga tidak menunjukkan tanda-tanda kompromi yang membahayakan keamanan nasional. Ia tetap konsisten memperkuat sistem pertahanan nasional dengan pendekatan modern dan efisien. Ia membangun kerja sama dengan berbagai negara tetapi tetap menjaga netralitas. Ini bentuk lain dari ketegasan yang tidak selalu tampak di permukaan. Dalam kebijakan energi, pangan, dan teknologi, Prabowo mulai mengarahkan strategi kedaulatan nasional yang bertumpu pada kekuatan dalam negeri.

Kritik bahwa Prabowo kini hanyalah simbol tanpa gigi, atau boneka dari kekuatan politik tertentu, sesungguhnya tidak hanya keliru, tetapi juga tidak adil. Politik Indonesia bukan seperti film laga di mana pahlawan tunggal menyelesaikan semuanya. Prabowo tahu benar bahwa sistem presidensial di Indonesia bercampur dengan realitas parlementer. Ia harus berkompromi bukan karena lemah, tetapi karena sistem menuntutnya demikian.

Dan akhirnya, satu hal yang patut dicermati adalah bagaimana Prabowo tetap menjaga kendali personal terhadap narasi besar pemerintahannya. Ia tidak mudah terseret pada isu-isu remeh atau manuver destruktif elite. Ia tetap fokus membangun narasi kedaulatan nasional, memperkuat pertahanan, meningkatkan produksi dalam negeri, dan merancang masa depan yang lebih mandiri. Dalam banyak kesempatan, ia menunjukkan bahwa dirinya masih Prabowo yang dulu: keras jika perlu, tetapi juga bijak jika itu lebih berguna bagi bangsa.

Tuduhan bahwa Prabowo tersandera politik mungkin menarik dari sudut pandang retorika, tetapi sangat lemah dalam substansi. Yang sebenarnya terjadi adalah: Prabowo sedang memainkan seni kepemimpinan dalam medan tempur yang tidak lagi berupa medan fisik, melainkan medan politik yang penuh jebakan dan ilusi. Justru di situlah ujiannya: mampu memimpin tanpa kehilangan arah, tegas tanpa menjadi otoriter, dan kompromistis tanpa kehilangan prinsip. Jika Prabowo bisa terus menjaga keseimbangan ini, maka sejarah akan mencatatnya bukan hanya sebagai pemimpin yang tegas, tetapi juga sebagai negarawan sejati.

-Widodo Sihotang/Peneliti Utama Detak Politika-

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow