LEGISLATOR PDIP DAN BOBBY NASUTION ADU MULUT DI RAPAT DPR: SIAPA YANG SEBENARNYA TAK DENGAR ASPIRASI RAKYAT?
LEGISLATOR PDIP DAN BOBBY NASUTION ADU MULUT DI RAPAT DPR: SIAPA YANG SEBENARNYA TAK DENGAR ASPIRASI RAKYAT?

detakpolitik.com, JAKARTA – Ketegangan antara anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, dan Gubernur Sumatera Utara, Muhammad Bobby Afif Nasution, dalam rapat bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) pada 3 Juli 2025, mencerminkan gejala penyakit akut dalam tubuh demokrasi Indonesia: ketika wakil rakyat yang terpilih justru terlihat lebih sibuk mempertahankan ego kelembagaan dan garis partai dibanding mendengar jeritan dan kebutuhan rakyat di lapangan. Narasi bahwa Bobby Nasution memprovokasi para kepala daerah untuk meninggalkan ruangan seolah menjadi tameng bagi legislator yang tidak siap dikritik atau diberi tekanan balik oleh eksekutif daerah. Padahal, insiden ini membuka tabir penting tentang siapa yang benar-benar mendengarkan rakyat, dan siapa yang justru mulai kehilangan arah dalam mengemban tugas legislasi dan pengawasan.
Rapat yang sedianya membahas isu pendapatan negara bukan pajak (PNBP), berubah arah ketika para kepala daerah, termasuk bupati dan wali kota, memunculkan persoalan yang sudah lama menjadi keresahan di Sumatera Utara: ketimpangan distribusi lahan, khususnya soal eks HGU milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Ini bukan persoalan kecil. Ini adalah akar dari ketimpangan struktural yang telah mengakar puluhan tahun. Lahan-lahan yang semestinya bisa diredistribusikan kepada rakyat atau dimanfaatkan untuk pembangunan daerah, malah terbengkalai atau tersandera di tengah tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat, korporasi BUMN, dan elite politik.
Dalam konteks ini, langkah para kepala daerah menyuarakan isu HGU di forum formal dengan Komisi II DPR dan Kementerian ATR bukanlah bentuk pembangkangan terhadap agenda rapat. Sebaliknya, itu adalah suara hati rakyat yang tak tertahankan untuk disampaikan langsung kepada para legislator yang bertanggung jawab atas urusan agraria dan kebijakan tanah. Mereka tidak sedang membajak forum, tetapi sedang memohon untuk didengar.
Di sinilah posisi Bobby Nasution menjadi penting dan patut diapresiasi. Sebagai gubernur muda yang memahami medan sosial-politik Sumatera Utara, Bobby tidak sekadar bertindak sebagai pejabat administratif. Ia menempatkan dirinya sebagai corong rakyat yang terpinggirkan. Ketika melihat bahwa para kepala daerah yang dipimpinnya tidak diberi ruang untuk menyampaikan keresahan daerahnya, Bobby merespons dengan mempertanyakan kepedulian dan orientasi DPR yang datang. Bukankah DPR adalah representasi rakyat? Mengapa justru keberatan saat suara rakyat datang dalam bentuk kritik dan harapan?
Tuduhan bahwa Bobby memprovokasi kepala daerah agar keluar dari ruangan adalah narasi yang tendensius dan tidak berdasar. Tidak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa Bobby menghasut atau menggerakkan kepala daerah untuk meninggalkan rapat. Justru pernyataan ini terkesan seperti cara untuk membalikkan opini publik dan melindungi kelemahan argumentatif dari pihak legislatif sendiri. Ini adalah bentuk retorika klasik yang sering dipakai ketika otoritas merasa dipertanyakan legitimasinya oleh pihak yang lebih dekat dengan akar rumput.
Lebih jauh, jika memang agenda rapat hanya membahas PNBP, pertanyaannya adalah: kenapa DPR tidak bisa lebih fleksibel dan tanggap terhadap dinamika yang muncul di lapangan? Bukankah rapat yang berlangsung bisa dijadikan momen untuk mencatat dan menampung aspirasi tambahan yang akan ditindaklanjuti di kemudian hari? Sikap kaku dan prosedural DPR dalam kasus ini mencerminkan betapa birokratis dan rigidnya lembaga legislatif kita dalam menghadapi realitas. Alih-alih membuka ruang dialog, Deddy Sitorus malah sibuk mengoreksi dan mengingatkan forum agar tidak keluar dari agenda. Padahal, rakyat di daerah sudah lama menanti kehadiran DPR untuk mendengar dan membantu menyelesaikan persoalan riil mereka, bukan hanya duduk membaca data dan angka pajak non-migas.
Akan sangat ironis bila kemudian kita melihat sikap defensif ini sebagai wujud sakit hati politik belaka. Apalagi mengingat Bobby adalah menantu Presiden Jokowi dan pernah menjadi kader PDIP sebelum akhirnya keluar dari partai banteng tersebut. Hubungan antara Bobby dan PDIP memang tidak lagi harmonis, apalagi setelah pemilu 2024 ketika sejumlah elite PDIP merasa ditinggalkan oleh Jokowi dan orang-orang di sekelilingnya. Maka tak heran jika kemudian ada kesan bahwa insiden di Sumatera Utara ini bukan sekadar soal substansi rapat, melainkan juga sarat nuansa politis: semacam sentimen internal PDIP terhadap keluarga Jokowi dan loyalisnya yang dianggap membelot atau menjadi rival di kancah politik nasional.
Namun publik hari ini tak lagi buta. Rakyat bisa melihat siapa yang sungguh-sungguh bekerja, dan siapa yang hanya sibuk berkomentar tanpa solusi. Bobby Nasution, dengan segala keterbatasannya sebagai kepala daerah, telah menunjukkan sensitivitas dan keberpihakan yang nyata terhadap problem konkret di daerah. Ia tidak bersembunyi di balik protokol atau formalitas agenda. Ia bicara jujur dan berani menegaskan bahwa ada yang lebih penting daripada sekadar membahas angka-angka PNBP: yakni keadilan dalam penguasaan tanah, pemerataan ekonomi, dan hak-hak dasar masyarakat adat serta petani yang selama ini dimarjinalkan oleh kebijakan pusat.
Sebaliknya, Deddy Sitorus terlihat lebih sibuk menjaga marwah Komisi II DPR daripada membuka telinga lebar-lebar. Ketika rakyat berbicara dengan jujur dan penuh harapan, apa salahnya membuka dialog, bukan malah mempersempit ruang dengan alasan teknis semata? Seorang legislator yang peka seharusnya menangkap aspirasi rakyat di mana pun dan kapan pun. Forum itu bukan ruang sakral yang harus steril dari suara rakyat. Justru forum itu harus menjadi tempat rakyat bicara secara langsung kepada wakilnya. Di sinilah titik kegagalan Deddy dan Komisi II dalam membaca situasi.
Di sisi lain, publik juga perlu tahu bahwa urusan lahan eks HGU PTPN di Sumatera Utara bukan sekadar perkara administratif. Di baliknya ada banyak kisah ketidakadilan, konflik agraria, dan ketimpangan struktural yang selama ini dibiarkan membusuk. Ketika kepala daerah ingin membuka itu di hadapan Komisi II dan Kementerian ATR, seharusnya itu menjadi momen emas untuk mendalami fakta, mencatat data, dan menyusun strategi bersama. Tetapi ketika DPR malah menolak dengan alasan teknis, publik jadi bertanya: siapa yang sesungguhnya tidak pro rakyat?
Komisi II DPR, dengan segala kewenangannya, seharusnya mengajak kementerian terkait untuk membentuk forum lanjutan, bukan justru menutup rapat aspirasi yang muncul hanya karena tidak sesuai agenda. Pernyataan bahwa pembahasan HGU tidak bisa dilakukan tanpa melibatkan Kementerian Keuangan dan BUMN memang benar. Tapi bukankah inisiasi untuk membentuk forum lintas kementerian bisa dimulai dari dialog awal ini? Mengapa justru ditutup sebelum dimulai?
Akhirnya, peristiwa ini menjadi refleksi penting tentang kualitas demokrasi kita. Ketika rakyat bicara, siapa yang benar-benar mendengarkan? Ketika kepala daerah membawa aspirasi warganya, siapa yang peduli dan siapa yang hanya peduli pada urusan protokoler? Ketika Bobby Nasution memilih untuk menyuarakan keresahan bawahannya, ia bukan sedang mencari panggung. Ia sedang menjalankan tugasnya sebagai pemimpin daerah yang tidak ingin daerahnya terus-menerus jadi penonton di atas tanah sendiri.
Rakyat hari ini tidak butuh wakil rakyat yang pandai beretorika di Senayan tapi tuli terhadap jeritan petani di Tapanuli atau Serdang Bedagai. Mereka butuh keberanian seperti Bobby yang tak segan menyuarakan keresahan walau harus berhadapan dengan politisi senior. Mungkin benar, tidak ada kepala daerah yang walk out secara fisik dari ruangan, tapi publik tahu bahwa mereka telah cukup kecewa untuk meninggalkan harapan terhadap para legislator yang seharusnya hadir sebagai penyambung suara rakyat, bukan pemutus komunikasi.
Dalam drama politik yang terjadi di ruangan itu, Bobby Nasution tidak sedang berkonflik dengan Deddy Sitorus secara personal. Ia sedang bertarung demi keadilan sosial dan distribusi lahan yang lebih adil bagi rakyat Sumatera Utara. Dan untuk itu, ia layak didukung, bukan dicurigai. Sebab hari ini, negeri ini butuh lebih banyak pejabat seperti dia: yang berani melawan arus protokoler demi kepentingan rakyat banyak. (putri/dp)
Apa Reaksi Anda?






