4 Pulau Diperebutkan Aceh vs Sumut! Prabowo Siap Tentukan Siapa Pemilik Sah: Aceh atau Sumut?
4 Pulau Diperebutkan Aceh vs Sumut! Prabowo Siap Tentukan Siapa Pemilik Sah: Aceh atau Sumut?

Penulis Hengki Tamando Sihotang | Peneliti Utama IOCSCIENCE, Indonesia
detakpolitik.com, JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto dikabarkan akan mengambil alih penyelesaian polemik sengketa empat pulau antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara, yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang. Keputusan tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, yang menyatakan bahwa Presiden akan turun langsung untuk menyelesaikan masalah yang telah menimbulkan gejolak politik, sosial, dan administratif di kedua provinsi tersebut. Ini bukan hanya sekadar konflik administratif, tetapi juga menyentuh akar historis, identitas daerah, dan semangat otonomi yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh.
Polemik ini mencuat setelah Kementerian Dalam Negeri melalui Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 menetapkan keempat pulau tersebut masuk ke wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Penetapan ini segera mendapat reaksi keras dari masyarakat dan DPR Aceh, yang mengklaim bahwa pulau-pulau itu secara historis dan geografis lebih dekat serta memiliki keterikatan yang lebih kuat dengan Aceh, khususnya dengan Kabupaten Aceh Singkil. Situasi ini memperkeruh hubungan antarwilayah, memantik aksi protes, dan bahkan mengancam ketentraman sosial di kawasan perbatasan.
Langkah Presiden Prabowo untuk turun langsung mengambil alih penyelesaian sengketa ini menunjukkan satu hal penting: keseriusan pemerintah pusat dalam memastikan bahwa urusan batas wilayah tidak ditangani secara sembarangan atau hanya lewat pendekatan administratif sepihak. Ini adalah langkah strategis dan patut diapresiasi. Sebagai kepala negara, Prabowo memiliki wewenang konstitusional untuk menyelesaikan konflik antarwilayah dalam negara, terutama jika sengketa tersebut menyangkut stabilitas nasional dan mencederai rasa keadilan antarwarga negara.
Namun, agar keputusan Presiden nantinya bisa diterima secara luas, maka pendekatan yang digunakan tidak boleh semata-mata legalistik dan administratif. Diperlukan pendekatan historis, kultural, dan dialogis, agar penyelesaian ini tidak menjadi bara dalam sekam. Sengketa batas wilayah tidak bisa diselesaikan hanya dengan garis di peta atau surat keputusan. Ia harus menjawab pertanyaan siapa yang lebih dulu hadir, siapa yang merasa memiliki, siapa yang selama ini mengelola, dan siapa yang secara sosial dan budaya menyatu dengan wilayah tersebut. Keempat pulau yang disengketakan itu memang secara fisik dekat dengan Tapanuli Tengah, namun secara historis dan sosial, Aceh mengklaim memiliki keterikatan yang lebih kuat. Inilah titik awal yang perlu dianalisis secara jernih.
Dari sudut pandang hukum tata negara dan administrasi pemerintahan, keputusan Mendagri seharusnya merupakan hasil akhir dari kajian menyeluruh, bukan keputusan yang terburu-buru dan mengabaikan masukan dari daerah yang terdampak. Dalam hal ini, pemerintah pusat melalui Kemendagri patut dikritisi. Apakah keputusan yang menetapkan keempat pulau itu ke Sumut sudah melalui proses yang adil dan melibatkan semua pihak, termasuk Pemerintah Aceh? Apakah Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi sudah menelaah semua dokumen historis dan fakta lapangan dengan objektif? Jika ternyata tidak ada konsultasi yang memadai, maka keputusan itu cacat prosedural dan berpotensi menimbulkan konflik berkepanjangan.
Di sisi lain, Pemerintah Aceh dan DPR Aceh memiliki hak dan bahkan kewajiban untuk membela wilayahnya, tetapi mereka juga harus bertindak dengan mengedepankan jalur konstitusional. Reaksi emosional dan narasi "perampasan wilayah" harus ditransformasikan menjadi argumentasi hukum yang kuat. Aceh memiliki sejarah panjang sebagai wilayah yang istimewa dan otonom, namun dalam urusan batas wilayah, tetap harus tunduk pada mekanisme nasional yang berlaku. Artinya, klaim Aceh harus didasarkan pada dokumen yang sah, bukan semata pada persepsi kultural atau narasi historis lisan. Perlu ada upaya pembuktian yang berbasis pada dokumen sejarah, peta kolonial, arsip pemerintahan lama, hingga referensi dari Badan Informasi Geospasial dan TNI AL selaku pemegang otoritas dalam peta batas wilayah laut.
Dalam konteks ini, peran Presiden Prabowo menjadi sangat penting. Ia bukan hanya sebagai pengambil keputusan, tetapi juga sebagai jembatan penengah yang harus mendengarkan semua pihak. Jika Presiden hanya mengikuti rekomendasi dari satu kementerian saja, maka keputusannya akan kehilangan legitimasi moral. Tapi jika Presiden mampu membuka ruang dialog terbuka, melibatkan pihak-pihak independen seperti akademisi, sejarawan, ahli geospasial, dan tentu saja perwakilan masyarakat lokal dari kedua provinsi, maka keputusan yang diambil akan jauh lebih kokoh dan sulit untuk dipertanyakan.
Pernyataan Sufmi Dasco bahwa keputusan akan diambil dalam waktu dekat merupakan sinyal bahwa Presiden telah memprioritaskan isu ini. Dan keputusan tersebut seharusnya bukan hanya bersifat administratif, tetapi juga politis dalam pengertian yang positif: keputusan yang mampu menyatukan kembali semangat kebangsaan di antara dua provinsi yang bersaudara. Penyelesaian ini harus menjadi contoh bahwa dalam negara kesatuan, tidak ada daerah yang dikalahkan atau dimenangkan, yang ada hanyalah kesepakatan yang adil dan konstitusional.
Secara geopolitik, penetapan batas wilayah di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil memang selalu rumit. Laut bukan hanya soal jarak atau koordinat, tapi juga soal akses ekonomi, hak sumber daya, dan identitas sosial. Jika pemerintah pusat gegabah menetapkan wilayah tanpa proses yang transparan, maka konflik horizontal di tingkat lokal akan sangat mungkin terjadi. Dalam kasus ini, masyarakat Aceh merasa diperlakukan tidak adil, merasa wilayahnya dirampas, dan merasa tidak dilibatkan dalam keputusan. Rasa ketidakadilan ini bisa menjadi bara api yang membakar semangat separatisme atau setidaknya ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat. Ini adalah risiko politik yang sangat serius.
Maka dari itu, dalam analisis yang obyektif, kita bisa menyatakan bahwa:
Pihak yang patut dibenarkan adalah Presiden Prabowo Subianto—karena ia telah menunjukkan sikap kenegarawanan dengan mengambil alih persoalan ini secara langsung. Ia tidak membiarkan konflik berkembang liar, dan menunjukkan bahwa urusan batas wilayah bukan semata urusan teknis, tapi juga urusan keadilan dan kepercayaan publik.
Pihak yang patut dikritik adalah Kementerian Dalam Negeri, yang terlihat mengambil keputusan terlalu cepat tanpa komunikasi publik yang luas dan transparan. Dalam negara demokrasi, keputusan yang berdampak besar terhadap wilayah dan masyarakat harus melibatkan partisipasi dari semua pemangku kepentingan. Jika ternyata Kemendagri tidak melakukan konsultasi memadai dengan Pemerintah Aceh dan tidak membuka data kepada publik, maka keputusan tersebut bukan hanya cacat demokratis, tetapi juga melukai rasa keadilan.
Sementara itu, Pemerintah Aceh, meskipun berada dalam posisi defensif, juga harus dikritik jika hanya mengandalkan narasi emosional dan tidak melakukan pembuktian hukum yang kokoh. Isu batas wilayah bukan ajang adu retorika, tapi adu data dan dokumen. Jika Aceh memang yakin keempat pulau tersebut miliknya, maka tempuh jalur hukum, perkuat posisi dengan bukti, dan jangan sekadar memainkan isu ini di ruang publik untuk membakar emosi rakyat.
Kesimpulannya, penyelesaian sengketa empat pulau ini akan menjadi tolok ukur kepemimpinan Prabowo di awal masa jabatannya. Apakah ia mampu menjadi pemimpin pemersatu yang adil dan berwibawa, atau justru terjebak dalam permainan administratif yang sempit. Keputusan yang akan diambil pekan depan akan menjadi preseden penting dalam penyelesaian sengketa batas wilayah di Indonesia. Diharapkan keputusan itu bukan hanya menyelesaikan masalah administratif, tetapi juga membangun kembali kepercayaan daerah kepada pusat, dan memperkuat semangat kebangsaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Hengki/dp)
Apa Reaksi Anda?






