Refly Harun dan Bahaya Narasi yang Menyulut Bara

Refly Harun dan Bahaya Narasi yang Menyulut Bara

Refly Harun dan Bahaya Narasi yang Menyulut Bara

detakpolitik.com, Jakarta - Di negeri yang tengah berjuang menjaga wibawa hukum, setiap kata yang keluar dari mulut seorang tokoh publik memiliki bobot yang jauh lebih berat dari sekadar opini pribadi. Apalagi jika tokoh itu dikenal luas sebagai pakar hukum tata negara orang yang seharusnya menjadi penopang kesadaran publik akan arti supremasi hukum, etika bernegara, dan kedewasaan berdemokrasi. Refly Harun, yang selama ini kerap tampil di berbagai media sebagai pengamat kritis, justru kali ini memilih jalur retorika yang menyulut bara ketimbang menyejukkan. Pernyataannya yang menyebut kasus hukum Tom Lembong sebagai “peradilan sesat” layak mendapat sorotan tajam, bukan hanya dari perspektif hukum, tetapi juga dari kaca mata tanggung jawab moral seorang intelektual publik.

Kita perlu menggarisbawahi terlebih dahulu: tidak ada yang melarang siapa pun, termasuk seorang pakar hukum, untuk mengkritik proses peradilan. Kritik adalah bagian dari mekanisme kontrol sosial yang sehat. Namun, kritik yang sehat selalu berdiri di atas fondasi argumentasi yang kuat, kehati-hatian memilih diksi, serta kesadaran akan dampak sosial dari setiap kata yang dilontarkan. Kata “peradilan sesat” bukan sekadar kritik itu adalah label keras yang, di telinga publik, bisa membunuh kredibilitas lembaga peradilan secara keseluruhan. Dari sini, terlihat jelas bahwa Refly Harun sedang bermain di wilayah retorika yang lebih mendekati agitasi daripada edukasi hukum.

Sebagai pakar hukum tata negara, Refly paham betul bahwa peradilan di Indonesia dibangun di atas prinsip due process of law. Semua terdakwa, termasuk Tom Lembong, diberi hak untuk membela diri, menghadirkan saksi, menghadirkan bukti, dan mengajukan banding. Proses itu telah berjalan, dan hasilnya adalah putusan pengadilan yang memvonis Lembong bersalah. Apakah setiap putusan hakim selalu sempurna? Tentu tidak. Sistem peradilan kita bukan tanpa cacat. Tapi memvonis balik hakim dan seluruh prosesnya sebagai “sesat” di ruang publik tanpa menghadirkan argumentasi yuridis yang jelas sama saja dengan menurunkan derajat lembaga hukum di mata rakyat. Itu bukan kritik yang membangun; itu provokasi yang membakar.

Refly Harun tentu paham bahwa publik Indonesia sangat sensitif terhadap isu penegakan hukum. Dalam kondisi di mana kepercayaan publik terhadap institusi hukum sering kali naik-turun, pernyataan bombastis dari seorang figur publik bisa menjadi bahan bakar bagi gelombang ketidakpercayaan yang lebih besar. Alih-alih mendorong perbaikan, pernyataan itu justru membuka ruang bagi narasi konspiratif yang sering kali tak berdasar. Di tengah derasnya arus disinformasi, seorang tokoh seperti Refly semestinya hadir sebagai jangkar kebenaran, bukan malah ikut melempar jangkar itu ke jurang opini liar.

Penting untuk kita ingat bahwa peran pakar hukum tidak berhenti pada menghafal pasal atau menganalisis putusan pengadilan. Peran itu mencakup membimbing publik memahami bahwa hukum bukanlah panggung drama yang bisa dihakimi hanya dari satu potongan cerita. Pakar hukum seharusnya menjadi penjaga rasionalitas publik, menyaring emosi agar tidak membanjiri logika, dan memastikan bahwa kritik yang diberikan memiliki landasan fakta yang kokoh. Mengatakan “peradilan sesat” tanpa terlebih dahulu memaparkan konstruksi hukum yang rinci dan bukti kuat bukanlah pendidikan hukum itu adalah pengaburan.

Lebih parah lagi, pernyataan Refly berpotensi menambah luka dalam relasi antara masyarakat dan lembaga peradilan. Dalam banyak kasus, hakim telah bekerja di bawah tekanan besar: tekanan opini publik, tekanan politik, bahkan tekanan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan ekonomi. Dengan menyebut “sesat”, Refly seolah-olah menegaskan kepada publik bahwa hakim-hakim tersebut tidak hanya salah, tetapi juga menyimpang secara prinsipil. Padahal, dalam konteks hukum, istilah “sesat” memiliki bobot moral dan yuridis yang sangat serius. Itu adalah tuduhan yang menempatkan hakim dalam posisi terpojok, bukan hanya secara profesional, tetapi juga secara pribadi.

Sebagai tokoh publik, Refly Harun punya modal besar untuk membentuk narasi yang menyejukkan, narasi yang memperkuat prinsip check and balance tanpa harus merobohkan wibawa lembaga negara. Ia bisa, misalnya, mengatakan bahwa putusan ini perlu dikaji ulang, bahwa prosesnya patut diawasi, atau bahwa bukti-bukti harus diuji lagi di tingkat yang lebih tinggi. Itu adalah cara yang elegan, profesional, dan konstruktif. Namun, memilih diksi “peradilan sesat” adalah pilihan sadar untuk memukul, bukan membangun; menyerang, bukan membimbing.

Seorang pakar hukum tata negara tentu paham bahwa legitimasi lembaga negara tidak dibangun dalam semalam. Butuh waktu puluhan tahun, bahkan sejak kemerdekaan, untuk membentuk institusi peradilan yang punya wibawa. Menjaganya adalah tugas bersama, terlebih lagi bagi mereka yang memiliki panggung publik. Setiap kata yang menjatuhkan tanpa dasar yang kokoh sama saja dengan merobohkan rumah yang dibangun dengan susah payah. Dan ketika rumah itu runtuh, yang menderita bukan hanya para hakim, tapi seluruh rakyat yang kehilangan rasa percaya pada hukum.

Refly mungkin akan mengatakan bahwa ia hanya berbicara demi kebenaran, bahwa ia tidak takut pada konsekuensi politik dari ucapannya. Tapi keberanian tanpa kebijaksanaan adalah bentuk lain dari kecerobohan. Dalam hukum, kebenaran bukan sekadar klaim ia harus dibuktikan. Dan pembuktian itu tidak dilakukan lewat mikrofon atau kamera, tetapi lewat mekanisme hukum yang sah. Mengumbar tuduhan “sesat” di hadapan publik adalah langkah politis, bukan langkah yuridis. Dan ketika langkah itu dilakukan oleh seorang tokoh publik, publik berhak mempertanyakan motifnya.

Kita bisa setuju bahwa setiap warga negara, termasuk Tom Lembong, berhak mendapatkan keadilan. Kita juga bisa setuju bahwa sistem hukum perlu diperbaiki. Tapi memperbaiki sistem tidak bisa dilakukan dengan cara merusak kepercayaan publik secara total. Sebuah analogi sederhana: jika kapal bocor, tugas nahkoda adalah memperbaikinya sambil menjaga penumpang tetap tenang, bukan berteriak di hadapan semua orang bahwa kapal itu “terkutuk” lalu meninggalkan awak kapal berjuang sendiri. Di sinilah pernyataan Refly kehilangan esensinya sebagai kritik yang sehat ia memilih menjadi pemberi kabar buruk tanpa memberi solusi.

Dalam dunia akademik, kita diajarkan bahwa kritik harus bersifat argumentatif, berbasis data, dan disampaikan dalam kerangka etik yang jelas. Dalam dunia advokasi, kita belajar bahwa membela seseorang tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kebenaran yang lebih besar. Dan dalam dunia publik, kita tahu bahwa kata-kata memiliki daya membentuk realitas. Refly Harun, sebagai figur yang telah lama berada di tiga dunia ini, seharusnya memahami konsekuensi ganda dari ucapannya. Ia tidak hanya sedang berbicara kepada segelintir orang yang paham hukum, tapi kepada jutaan orang yang akan menelan mentah-mentah narasinya.

Kalau benar Refly ingin membela Tom Lembong, maka pembelaan itu sebaiknya dilakukan dengan cara yang memperkuat institusi hukum, bukan melemahkannya. Ia bisa menjadi penghubung antara publik yang resah dan lembaga hukum yang tertutup, ia bisa memfasilitasi diskusi publik yang sehat tentang prosedur hukum, ia bisa memaparkan celah-celah yuridis yang menurutnya dilanggar dalam kasus ini. Itu semua adalah langkah-langkah yang konstruktif dan menyejukkan. Tapi dengan memilih jalur retorika “peradilan sesat”, ia justru ikut memperbesar jurang ketidakpercayaan yang selama ini menjadi masalah utama hukum di negeri ini.

Kita membutuhkan tokoh publik yang mampu menyalakan obor di tengah kegelapan, bukan meniup angin kencang yang memadamkan cahaya yang tersisa. Kritik itu penting, tapi kritik yang membangun jauh lebih dibutuhkan daripada kritik yang hanya menambah masalah. Refly Harun masih punya kesempatan untuk memperbaiki narasinya, untuk kembali menjadi suara akal sehat di tengah riuh rendah opini publik. Tapi kesempatan itu hanya akan datang jika ia bersedia meninggalkan diksi-diksi yang memecah, dan memilih kata-kata yang mempersatukan sambil tetap mengawal keadilan.

Sejarah akan mencatat setiap ucapan tokoh publik, bukan hanya karena siapa mereka, tetapi juga karena dampak dari ucapan itu terhadap kehidupan masyarakat. Refly Harun sudah memilih kata-kata yang keras; kini publik menunggu apakah ia siap memikul beban dari kata-kata itu, atau justru akan membiarkannya menjadi bara yang membakar kepercayaan kita terhadap hukum.  (victor/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow