Partai Keluarga atau Partai Demokrasi? Sebuah Kritik Keras terhadap Penunjukan Hasto Kristiyanto
Partai Keluarga atau Partai Demokrasi? Sebuah Kritik Keras terhadap Penunjukan Hasto Kristiyanto

detakpolitik.com, Jakarta - Dalam iklim politik Indonesia yang penuh dengan jargon demokrasi, kedaulatan rakyat, dan supremasi partai sebagai wadah aspirasi, ada satu fakta yang belakangan ini semakin mengganggu nalar publik: apakah partai politik kita sungguh-sungguh demokratis di dalam tubuhnya sendiri, ataukah sekadar menggunakan label demokrasi sebagai kedok untuk mempertahankan kekuasaan segelintir orang? Pertanyaan ini menyeruak kembali ketika publik menyaksikan bagaimana Megawati Soekarnoputri kembali menunjuk Hasto Kristiyanto sebagai Sekretaris Jenderal PDIP, dengan dalih mempertahankan tim pemenang. Kalimat klise “don’t change the winner team” seolah menutup ruang bagi refleksi yang lebih dalam: apakah partai ini dibangun untuk kepentingan bangsa, atau untuk mempertahankan tradisi dinasti politik yang kental dengan nuansa keluarga?
Realitas politik kita sering dipenuhi ironi. Sebuah partai bernama “Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan” seharusnya menjadi mercusuar bagi praktik demokrasi yang sehat. Namun, dalam praktiknya, mekanisme pengambilan keputusan justru jauh dari semangat demokratis. Penunjukan seorang Sekjen bukan melalui forum kompetitif yang terbuka, bukan pula hasil musyawarah yang transparan melibatkan kader partai secara luas, melainkan ditentukan satu orang: Megawati, dengan hak prerogatifnya sebagai formatur tunggal. Publik kembali bertanya-tanya, di mana letak demokrasi yang selama ini mereka gembar-gemborkan? Bagaimana mungkin partai yang mengusung nama besar demokrasi justru menjalankan mekanisme internal bak perusahaan keluarga, di mana sang pemilik merek dagang bebas menunjuk siapa saja yang dianggap cocok untuk mengamankan bisnis politik?
Keputusan menunjuk kembali Hasto Kristiyanto, yang reputasinya belakangan dipenuhi kontroversi mulai dari skandal Harun Masiku hingga berbagai tudingan publik soal integritasnya, jelas memperlihatkan dua hal. Pertama, bahwa loyalitas kepada Megawati jauh lebih penting ketimbang kapasitas moral, rekam jejak, dan kemampuan berorganisasi. Kedua, bahwa PDIP semakin memperlihatkan wajah aslinya: partai yang dikendalikan oleh lingkaran keluarga, bukan oleh mekanisme demokratis. Semua ini menampar nalar sehat masyarakat yang masih berharap bahwa partai politik adalah sekolah demokrasi, tempat kaderisasi lahir dari bawah, dan kepemimpinan muncul dari proses kompetisi gagasan, bukan sekadar restu dari satu orang.
Sungguh tragis jika kita menengok sejarah panjang bangsa ini. Demokrasi diperjuangkan dengan darah dan air mata, dengan nyawa yang dipertaruhkan oleh mereka yang menolak tirani dan penindasan. Namun kini, di era yang seharusnya lebih matang, demokrasi justru dipermainkan di ruang-ruang elitis partai. Di satu sisi, partai berteriak lantang tentang rakyat, tentang perjuangan wong cilik, tentang amanat penderitaan rakyat. Tetapi di sisi lain, rakyat sendiri tidak diberi ruang sedikit pun dalam menentukan arah partai. Yang ada hanyalah oligarki keluarga yang mengatur siapa duduk di mana, siapa berbicara, dan siapa diam. Apakah ini yang disebut demokrasi? Ataukah ini sekadar panggung sandiwara, di mana demokrasi hanyalah selubung untuk melanggengkan kekuasaan segelintir orang yang takut kehilangan kendali?
Mari kita jujur. Mekanisme internal PDIP hanyalah cermin kecil dari penyakit besar demokrasi di Indonesia. Partai-partai lain pun tak jauh berbeda, tetapi PDIP menambah luka dengan menyebut dirinya sebagai partai demokrasi perjuangan, padahal realitasnya jauh panggang dari api. Nama partai seolah menjadi penghinaan terhadap makna sejati demokrasi. Demokrasi bukanlah tentang mengulang-ulang wajah yang sama di pucuk pimpinan tanpa memberi kesempatan bagi regenerasi. Demokrasi bukanlah tentang sekadar memenangkan pemilu lalu membagi kursi kekuasaan kepada loyalis. Demokrasi adalah proses keterbukaan, persaingan ide, ruang kritik yang hidup, dan akuntabilitas terhadap publik. Jika semua itu hilang, maka yang tersisa hanyalah dinasti politik yang terbungkus bendera merah dengan logo banteng, yang ironisnya justru kian jauh dari rakyat.
Keputusan Megawati menegaskan bahwa partai ini tidak pernah siap untuk benar-benar demokratis. Ia nyaman dalam posisi sebagai “ratu” yang menentukan segalanya. Dan para kader di bawahnya, alih-alih berani bersuara, memilih tunduk, bertepuk tangan, dan mengangguk-angguk menyambut keputusan yang sudah digariskan. Semua orang tahu bahwa tepuk tangan mereka bukanlah ekspresi gembira yang tulus, melainkan ritual formalitas untuk mempertahankan posisi mereka sendiri. Tidak ada yang berani bertanya, apalagi membantah, karena di partai ini yang berkuasa bukanlah suara mayoritas kader, melainkan restu keluarga besar Soekarno. Hasto hanyalah perpanjangan tangan dari itu semua, sebuah simbol bahwa partai ini bukanlah arena kaderisasi, melainkan arena distribusi loyalitas.
Kritik keras perlu dilontarkan, karena jika praktik semacam ini terus dibiarkan, maka demokrasi di Indonesia akan semakin rapuh. Bagaimana kita bisa mengharapkan demokrasi yang sehat di tingkat nasional jika di dalam rumah partai saja tidak ada demokrasi? Bagaimana kita bisa mempercayai bahwa partai memperjuangkan suara rakyat jika di internalnya suara kader tidak punya nilai apa-apa? Bagaimana kita bisa berharap pada regenerasi politik jika semua kursi penting ditentukan hanya oleh satu orang dengan alasan klise tentang stabilitas dan konsistensi? Stabilitas tanpa demokrasi adalah kedok otoritarianisme. Konsistensi tanpa regenerasi adalah tanda pembusukan. Dan kemenangan berulang tanpa keterbukaan hanya akan melahirkan arogansi yang pada akhirnya menjatuhkan diri mereka sendiri.
Sejarah mengajarkan kita bahwa partai politik yang terlalu bergantung pada satu orang atau satu keluarga pada akhirnya akan rapuh. Ketika sang figur pergi, partai kehilangan arah, dan kader yang terbiasa tunduk tak mampu mengambil alih dengan visi baru. PDIP tampaknya berjalan di jalur yang sama. Dengan mempertahankan status quo, mereka mungkin merasa aman untuk sementara waktu, tetapi sesungguhnya mereka sedang menyiapkan jurang untuk diri mereka sendiri. Rakyat mungkin diam hari ini, tetapi kekecewaan yang menumpuk akan menjadi bom waktu yang kelak meledak dalam bentuk penolakan besar-besaran. Sebuah partai yang mengklaim diri sebagai juara demokrasi akan ditertawakan publik sebagai partai keluarga, partai dinasti, partai nostalgia, yang jauh dari semangat reformasi yang dulu mereka gaungkan.
Opini ini bukan sekadar kemarahan, melainkan keprihatinan mendalam. Demokrasi yang kita perjuangkan akan kehilangan makna jika partai-partai besar masih dikuasai dengan cara-cara feodalistik. Dan Megawati, dengan segala simbol sejarah yang melekat padanya, seharusnya menjadi teladan, bukan malah menjadi contoh buruk. Rakyat berhak marah, rakyat berhak kecewa, rakyat berhak mempertanyakan: untuk siapa partai ini bekerja? Untuk rakyat, atau untuk keluarga? Untuk bangsa, atau untuk ego segelintir orang? Jika jawabannya yang kedua, maka sebaiknya partai ini mengganti namanya: bukan lagi partai demokrasi, melainkan partai keluarga. Bukan lagi partai perjuangan, melainkan partai pelanggengan. Dan sejarah akan mencatat bahwa di balik jargon besar dan bendera merah, sesungguhnya yang diperjuangkan hanyalah kekuasaan itu sendiri. (dedi/dp)
Apa Reaksi Anda?






