Kasus Mangkrak 9 Tahun, Denny Indrayana Diduga Lindungi Diri di Australia: Polri Didesak Terbitkan DPO!

Tersangka Korupsi Rp 32 M Tak Tersentuh Hukum? Desakan DPO Denny Indrayana Menguat

Kasus Mangkrak 9 Tahun, Denny Indrayana Diduga Lindungi Diri di Australia: Polri Didesak Terbitkan DPO!

detakpolitik.com, JAKARTA - 

Kasus korupsi yang melibatkan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, dalam proyek Payment Gateway kembali mengemuka dan memunculkan tanda tanya besar tentang konsistensi penegakan hukum di Indonesia. Sudah hampir satu dekade sejak status tersangka ditetapkan pada tahun 2015, namun hingga kini perkara tersebut belum menemukan titik terang. Padahal, kerugian negara yang ditimbulkan mencapai angka fantastis, yakni sekitar Rp 32,09 miliar. Angka ini bukan jumlah kecil, dan sangat layak menjadi perhatian serius aparat penegak hukum, mengingat besarnya dampak dari tindak pidana korupsi terhadap kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Dalam perkembangan terakhir, suara keras datang dari Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), yang mendorong Polri untuk menetapkan Denny Indrayana sebagai buronan atau Daftar Pencarian Orang (DPO), mengingat yang bersangkutan sudah bertahun-tahun menetap di Australia. Pernyataan Wakil Ketua LP3HI, Kurniawan Adi Nugroho, menegaskan bahwa tidak ada alasan substansial yang menghambat Polri untuk menyerahkan berkas perkara ini kepada penuntut umum. Menurutnya, Kejaksaan bisa saja langsung mengajukan perkara ini ke pengadilan dengan menggunakan mekanisme sidang in absentia, yakni sidang yang tetap dilangsungkan meskipun terdakwa tidak hadir secara fisik di ruang sidang.

Mekanisme in absentia bukanlah hal baru dalam dunia peradilan Indonesia, terutama dalam kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan tersangka yang berada di luar negeri dan sulit dijangkau. Praktik ini sudah beberapa kali digunakan dan memiliki dasar hukum yang kuat, sepanjang proses hukum sebelumnya telah dilaksanakan secara sah dan patut. Ini menjadi solusi konkret atas upaya penghindaran hukum oleh tersangka yang berlindung di luar negeri. Sayangnya, dalam kasus Denny Indrayana, meski status tersangka sudah melekat cukup lama, penanganan kasus ini seperti jalan di tempat. Keengganan untuk menetapkannya sebagai DPO menunjukkan lemahnya keberanian dan komitmen penegak hukum dalam memberantas korupsi secara tuntas dan tanpa pandang bulu.

Koalisi Masyarakat Pemerhati Hukum Indonesia (KMPHI) pun sudah melayangkan protes langsung ke Polda Metro Jaya dalam bentuk aksi demonstrasi, mendesak agar perkara yang merugikan keuangan negara ini segera dituntaskan. Mereka menyoroti lambannya aparat penegak hukum dalam membawa perkara ini ke meja hijau, padahal sudah ada bukti awal yang cukup kuat. Tanggapan dari pihak Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menyatakan bahwa laporan dari KMPHI akan ditindaklanjuti dan segera dilaporkan ke Kapolda Metro Jaya, Irjen Karyoto. Namun, pernyataan ini tidak serta merta menjawab kekhawatiran publik. Rakyat ingin melihat langkah nyata, bukan sekadar janji penanganan yang pada akhirnya menguap tanpa kejelasan.

Mengacu pada catatan kasus ini, Denny Indrayana dianggap memainkan peran sentral dalam pelaksanaan proyek Payment Gateway Kementerian Hukum dan HAM kala itu. Ia disebut-sebut memberikan instruksi langsung yang mengarah pada penunjukan dua vendor, yakni PT Nusa Inti Artha (Doku) dan PT Finnet Indonesia. Bahkan, Denny diduga memfasilitasi pengoperasian sistem Payment Gateway yang melibatkan kedua perusahaan tersebut. Langkah yang diambil ini diduga kuat tidak mengikuti prosedur pengadaan barang dan jasa yang semestinya, serta menimbulkan kerugian negara. Fakta-fakta inilah yang kemudian melahirkan dugaan adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang oleh seorang pejabat tinggi negara.

Namun, yang menjadi masalah besar bukan hanya substansi kasusnya, melainkan proses penegakan hukumnya yang mandek. Masyarakat melihat adanya ketimpangan penegakan hukum yang mencolok ketika tersangka berasal dari kalangan elite, terlebih dari tokoh yang kerap tampil di ruang publik dengan narasi moral dan integritas. Denny Indrayana selama ini dikenal sebagai akademisi dan tokoh yang sering bersuara kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Namun, status tersangkanya dalam kasus korupsi ini seperti tenggelam oleh pencitraan yang dibangunnya. Ironisnya, tidak sedikit masyarakat yang tidak mengetahui bahwa mantan Wamenkumham itu sedang berstatus tersangka dalam perkara yang melibatkan kerugian puluhan miliar rupiah.

Ada kesan kuat bahwa ada kekuatan politik atau jaringan pengaruh yang membuat proses hukum terhadap Denny berjalan lambat. Selama ini, ia masih aktif berbicara di berbagai forum, tampil di media, bahkan menjadi pembicara dalam diskusi-diskusi hukum dan demokrasi. Sementara, status hukumnya yang sudah ditetapkan oleh aparat negara seolah tidak menghalangi pergerakannya. Ini adalah ironi besar dalam sistem hukum Indonesia, di mana seseorang bisa tetap bebas dan aktif di ruang publik, meski sedang berstatus tersangka korupsi, hanya karena ia berada di luar jangkauan fisik aparat dan mungkin memiliki kedekatan dengan kelompok-kelompok kekuasaan tertentu.

Fenomena seperti ini tentu sangat merusak kepercayaan publik terhadap institusi hukum. Rakyat akan mempertanyakan: apakah hukum benar-benar tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Apakah hanya rakyat kecil yang bisa dengan cepat ditangkap dan diadili, sementara mereka yang punya nama besar dan akses internasional bisa melenggang bebas meski sudah menjadi tersangka? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi refleksi penting dalam perjalanan reformasi hukum di Indonesia. Sudah terlalu sering kasus besar menguap begitu saja karena pelakunya keburu menghilang atau tinggal di luar negeri, dan aparat seakan tidak punya nyali atau kehendak politik untuk mengejarnya.

Di sinilah pentingnya Polri dan Kejaksaan untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar berdiri tegak di atas hukum. Langkah pertama yang sangat logis dan mendesak adalah menetapkan Denny Indrayana sebagai DPO. Dengan status DPO, maka Polri bisa mengaktifkan kerja sama internasional seperti red notice melalui interpol, atau melalui jalur Mutual Legal Assistance (MLA) untuk kerja sama ekstradisi dengan pemerintah Australia. Jika Denny menolak kembali ke Indonesia untuk diperiksa dan diadili, maka proses in absentia harus segera dijalankan, seperti yang telah disarankan oleh LP3HI.

Tidak ada alasan untuk terus menunda proses hukum ini. Semakin lama kasus ini menggantung, semakin besar pula kecurigaan publik bahwa ada permainan politik atau perlindungan kekuasaan di baliknya. Kejaksaan juga seharusnya tidak menunggu terlalu lama untuk menerima pelimpahan berkas dan segera melimpahkannya ke pengadilan. Mekanisme hukum sudah tersedia, perangkat perundangan mendukung, tinggal keberanian dan komitmen moral para penegak hukum yang perlu diuji.

Selain itu, penting juga bagi media dan masyarakat sipil untuk terus mengawal kasus ini. Jangan sampai kasus korupsi Payment Gateway ini dilupakan begitu saja oleh publik karena pelakunya adalah tokoh yang memiliki modal sosial dan intelektual. Apalagi jika dilihat dari jumlah kerugian negara yang mencapai lebih dari 32 miliar rupiah—jumlah yang bisa membiayai pendidikan ribuan anak miskin atau membangun puluhan fasilitas kesehatan di daerah terpencil.

Transparansi dan konsistensi adalah kunci. Jika aparat penegak hukum berhasil menyelesaikan kasus ini hingga tuntas, maka kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum akan pulih, dan kita bisa membuktikan bahwa hukum memang berlaku untuk semua, tanpa terkecuali. Namun jika kasus ini terus mangkrak, maka publik akan kembali disuguhi drama ketidakadilan yang semakin memperkuat anggapan bahwa di Indonesia, hukum bisa dinegosiasi, dan korupsi bisa dibersihkan hanya dengan pencitraan.

Sudah saatnya kasus Denny Indrayana diangkat kembali ke permukaan dengan keseriusan penuh. Langkah konkret harus segera diambil: mulai dari penetapan DPO, penerbitan red notice jika diperlukan, hingga pelimpahan ke pengadilan, baik dengan kehadiran terdakwa maupun in absentia. Penegakan hukum tidak bisa menunggu selamanya. Publik sudah menunggu terlalu lama untuk keadilan ditegakkan.

(debo/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow