Makar Konstitusional: Ketika Pemakzulan Dijadikan Alat Dendam Politik
GIBRAN SULIT DI MAKZULKAN

detakpolitik.com, JAKARTA - Demokrasi Indonesia kembali diuji. Bukan karena letusan konflik senjata, bukan pula karena huru-hara jalanan atau kudeta militer, melainkan oleh satu isu yang mencuat dan bergulir secara perlahan namun membahayakan: wacana pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dari kursi Wakil Presiden Republik Indonesia. Sebuah ide yang pada permukaannya tampak konstitusional, namun di dalamnya tersimpan bara balas dendam dan nafsu kekuasaan yang begitu membara, disamarkan dalam jubah moralitas yang palsu.
Gibran bukan hanya sosok muda yang sedang naik daun dalam politik nasional. Ia adalah simbol regenerasi, representasi dari sebuah babak baru dalam sejarah kepemimpinan bangsa yang terlalu lama dikuasai oleh kelompok tua yang enggan melepaskan cengkeraman. Kemenangan pasangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024 jelas bukan hanya kemenangan satu individu atau partai politik, melainkan kemenangan ide tentang keterbukaan generasi dan transisi estafet yang lebih progresif. Tapi justru di sinilah masalah bermula. Bagi mereka yang telah lama menjadikan sistem politik sebagai warisan tertutup, kehadiran Gibran terasa seperti ancaman.
Wacana pemakzulan ini tidak lahir dari rakyat. Ia tidak tumbuh dari kegelisahan publik atas kinerja Gibran. Tidak ada unjuk rasa massal di depan Istana. Tidak ada petisi rakyat berjilid-jilid menuntut dia turun. Tidak ada krisis kepercayaan yang meluas di media sosial seperti yang pernah terjadi pada pejabat-pejabat korup sebelumnya. Yang ada justru diamnya rakyat, karena rakyat tahu: Gibran belum melakukan kesalahan besar yang layak untuk dijatuhkan. Sebaliknya, yang menyuarakan isu ini hanyalah sekelompok elite yang tak pernah bisa menerima kekalahan secara elegan.
Mereka yang menggulirkan wacana pemakzulan Gibran bukan orang-orang biasa. Mereka adalah politisi frustrasi, tokoh tua yang kehilangan panggung, aktivis yang kehilangan relevansi, bahkan sebagian purnawirawan yang tak rela generasi baru memegang kendali negara. Mereka tidak sedang memperjuangkan etika, mereka sedang memperjuangkan eksistensi. Dan karena tidak mampu menang melalui jalur demokrasi, mereka mulai memainkan celah hukum demi memaksakan kehendak. Itulah yang paling berbahaya: ketika konstitusi dijadikan alat untuk merobohkan mandat rakyat.
Dalam sistem presidensial yang kita anut, proses pemakzulan bukanlah perkara sepele. Pasal 7A UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden hanya dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR apabila terbukti secara hukum melakukan pelanggaran berat: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Frasa “terbukti secara hukum” bukan basa-basi. Ia adalah benteng agar kekuasaan eksekutif tidak dapat diacak-acak oleh dinamika politik sesaat. Tapi kini, pasal itu sedang digeser maknanya, dipelintir secara liar, dan digunakan sebagai tameng untuk melancarkan agenda pemakzulan.
Cobalah tanyakan secara jujur: kesalahan apa yang telah dilakukan Gibran hingga layak dimakzulkan? Apakah dia mencuri uang negara? Tidak. Apakah dia menyalahgunakan kekuasaan? Tidak ada bukti. Apakah dia menghina konstitusi? Sama sekali tidak. Maka untuk apa wacana pemakzulan ini dipaksakan? Jawabannya sederhana: karena mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa politik Indonesia kini telah berubah arah. Mereka tidak bisa terima bahwa publik telah memberi mandat kepada sosok yang mereka anggap tidak layak, bukan karena kinerjanya, tetapi karena latar belakangnya.
Tentu saja kita tidak menutup mata bahwa perjalanan Gibran ke kursi wakil presiden diselimuti banyak kontroversi, termasuk soal putusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskan dia dari syarat usia. Tapi keputusan itu telah final, dan dia tetap maju melalui pemilu terbuka. Rakyat tahu, media tahu, semua tahu. Tapi toh akhirnya rakyat tetap memilih. Kalau ada yang tidak puas, seharusnya pertempurannya ada di kotak suara, bukan dengan memaksakan pemakzulan di tengah jalan. Demokrasi adalah soal siapa yang mampu meyakinkan rakyat, bukan soal siapa yang mampu berteriak paling kencang di Senayan.
Lebih dari itu, yang juga mengkhawatirkan adalah preseden buruk yang akan ditinggalkan. Jika Gibran bisa dimakzulkan hanya karena alasan politis dan tekanan elite, maka pemimpin mana pun di masa depan akan bernasib sama. Demokrasi akan berubah menjadi permainan kekuasaan yang tak berkesudahan, di mana setiap hasil pemilu bisa dianulir hanya karena tidak sesuai dengan selera sebagian pihak. Jika ini dibiarkan, tidak ada lagi makna dari proses pemilu. Tidak ada jaminan bagi siapa pun yang menang untuk menyelesaikan masa jabatannya secara utuh.
Apakah kita ingin Indonesia jatuh ke dalam siklus instabilitas politik seperti yang pernah terjadi di era 1960-an atau 1998? Apakah kita rela membakar energi bangsa hanya untuk memuaskan segelintir orang yang gagal menerima realitas politik? Bukankah lebih baik kita mengawasi, mengkritik, dan membimbing Gibran dalam menjalankan tugasnya, daripada menjatuhkannya sebelum dia benar-benar bekerja?
Apalagi, Gibran bukan sosok tunggal dalam pemerintahan. Dia adalah bagian dari satu sistem presidensial yang dipimpin Prabowo Subianto. Pemakzulan terhadapnya tidak akan serta-merta menyelesaikan apa pun. Justru ia hanya akan menciptakan kekosongan, ketegangan baru, dan konflik horisontal yang tak perlu. Rakyat akan bingung. Pemerintahan akan terbelah. Dan ekonomi bisa terguncang. Negara ini butuh stabilitas, bukan drama politik murahan yang dilandasi sakit hati.
Sayangnya, sebagian media dan opini publik justru terpancing. Mereka mulai mengamplifikasi isu ini, menyulut api yang seharusnya diredam. Lupa bahwa tugas utama media adalah menjaga nalar publik, bukan menjadi pengeras suara elite yang sedang kecewa. Di sinilah pentingnya suara yang waras untuk kembali mengingatkan: bahwa Gibran bukan musuh negara. Dia bukan ancaman demokrasi. Justru sebaliknya, ancaman itu datang dari mereka yang ingin menggulingkan pemimpin sah dengan alasan yang kabur.
Ada pula yang berdalih bahwa ini semua demi menjaga etika konstitusi. Tapi benarkah? Bukankah menjaga etika konstitusi seharusnya juga berarti menghormati hasil pemilu? Bukankah mengawasi pejabat negara lebih etis daripada langsung memaksa pemakzulan? Bukankah memberi kesempatan untuk bekerja adalah esensi dari prinsip due process dalam demokrasi?
Mereka yang ingin menjatuhkan Gibran seolah ingin kita percaya bahwa ini semua demi menyelamatkan bangsa. Tapi sejarah sudah berkali-kali membuktikan, bahwa mereka yang paling getol bicara atas nama rakyat, sering kali adalah mereka yang paling jauh dari rakyat itu sendiri. Mereka bicara tentang moral, tapi hidup dari transaksi. Mereka bicara tentang reformasi, tapi hidup dari nostalgia. Mereka bicara tentang konstitusi, tapi menginjaknya diam-diam demi ambisi pribadi.
Indonesia butuh masa depan yang pasti. Tidak semua orang mungkin suka pada Gibran, dan itu sah-sah saja. Tapi jangan pula kebencian dijadikan dasar untuk meruntuhkan struktur pemerintahan. Jika Gibran salah, maka koreksilah. Jika dia keliru, maka tegurlah. Tapi menjatuhkan dia lewat pemakzulan yang tidak berdasar, hanya akan menciptakan luka baru dalam sejarah politik kita. Luka yang dalam, dan sukar disembuhkan.
Wacana pemakzulan ini harus dihentikan. Tidak hanya karena tak masuk akal secara hukum, tapi juga karena akan menyeret kita ke dalam spiral konflik yang tidak produktif. DPR sebagai institusi legislatif harus menjadi penyeimbang, bukan perusak. Jangan jadikan lembaga itu sebagai alat politik kelompok tertentu. Karena jika itu terjadi, maka bukan hanya Gibran yang akan jatuh. Tapi juga kredibilitas parlemen, dan kepercayaan rakyat pada sistem demokrasi kita.
Saatnya kita sadar, bahwa negara ini bukan panggung drama untuk ambisi segelintir orang. Gibran adalah Wakil Presiden Republik Indonesia yang sah. Ia dipilih rakyat. Dan selama belum terbukti bersalah secara hukum, ia berhak untuk menjalankan mandatnya sampai tuntas. Segala upaya untuk menjatuhkan dia tanpa dasar hukum yang kuat hanyalah bentuk lain dari makar konstitusional yang dibungkus retorika moral palsu.
Bangsa ini terlalu besar untuk dikuasai oleh dendam kecil. Terlalu berharga untuk dikorbankan demi kepuasan pribadi. Dan terlalu cerdas untuk dibodohi oleh permainan elit yang menunggangi konstitusi demi ambisi politik.
Jangan biarkan demokrasi diperkosa atas nama prosedur. Jangan biarkan rakyat dibohongi atas nama konstitusi. Jangan biarkan Gibran dijatuhkan hanya karena dia berbeda, muda, dan menang.
Karena hari ini Gibran. Besok bisa siapa saja.
(widodo/dp)
Apa Reaksi Anda?






