GIBRAN SAPA MEGAWATI DI HARI LAHIR PANCASILA: RAKYAT TERSENTUH

GIBRAN TANYA KESEHATAN MEGAWATI, NETIZEN: INI BARU PEMIMPIN SEJATI!

GIBRAN SAPA MEGAWATI DI HARI LAHIR PANCASILA: RAKYAT TERSENTUH
GIBRAN SAPA MEGAWATI DI HARI LAHIR PANCASILA: RAKYAT TERSENTUH

Pada peringatan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni 2025, terselip sebuah momen yang tak hanya menghangatkan suasana upacara, namun juga menyentuh hati rakyat Indonesia yang tengah berharap pada kesejukan dan rekonsiliasi pasca Pemilu 2024 yang penuh ketegangan. Di tengah suasana khidmat yang berlangsung di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, publik menyaksikan kebersamaan yang selama ini dinanti: Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDIP serta Dewan Pengarah BPIP, Megawati Soekarnoputri, berada dalam satu panggung, satu momen, satu napas kebangsaan.

Meski tampak sederhana, interaksi yang terjadi antara Megawati dan Gibran menyimpan makna simbolis yang dalam. Ahmad Muzani, Ketua MPR yang juga Sekjen Partai Gerindra, mengungkapkan kepada awak media bahwa Gibran sempat menyapa Megawati dan bahkan menanyakan langsung kondisi kesehatan beliau. Percakapan kecil namun hangat itu terjadi sebelum keduanya turun ke lapangan upacara, di dalam sebuah ruangan khusus yang turut diisi oleh beberapa tokoh nasional. Tidak banyak yang tahu isi percakapan tersebut, namun dari pernyataan Muzani saja, rakyat bisa merasakan bahwa di balik perbedaan dan konflik politik, tetap ada etika, empati, dan penghormatan antar pemimpin bangsa.

Momen ini bagaikan secercah embun pagi yang membasahi dedaunan kering akibat panasnya kontestasi politik sebelumnya. Pasca Pilpres 2024, relasi antara keluarga Presiden Joko Widodo dan PDIP yang dipimpin Megawati memang tampak memburuk. Gibran, yang awalnya adalah kader PDIP dan pernah menjabat Wali Kota Solo berkat dukungan penuh partai tersebut, justru maju sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto melalui jalur koalisi lain, dan berujung pada pemecatannya sebagai kader. Di mata publik, ini bukan sekadar konflik partai, tapi drama besar politik nasional antara seorang pemimpin senior dan seorang rising star dari keluarga Presiden yang sedang memantapkan kariernya di level nasional.

Namun di Hari Lahir Pancasila, semua itu seakan mencair. Kesan adem, sejuk, dan menyenangkan pun menyelimuti publik. Media sosial pun turut menggema dengan komentar positif dari masyarakat yang menyebut momen ini sebagai "titik balik silaturahmi nasional." Tak sedikit yang merasa bangga melihat para tokoh bangsa berkumpul dengan penuh hormat pada satu panggung yang membawa semangat persatuan.

Kehadiran para tokoh nasional lain seperti Try Sutrisno dan Jusuf Kalla turut menambah kekhusyukan momen ini. Meski Presiden ke-7 Joko Widodo dan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono tak tampak dalam barisan, suasana tetap berlangsung penuh makna. Muzani sendiri mengakui bahwa ia tidak tahu alasan mengapa kedua tokoh tersebut tidak hadir, karena ia hanya merupakan tamu undangan dalam agenda BPIP. Namun absennya mereka tak meredupkan kehangatan yang lahir dari interaksi Gibran dan Megawati. Sebaliknya, hal ini justru menyorot lebih tajam kedekatan yang muncul antara dua sosok berbeda generasi dan kutub politik.

Dari sisi rakyat, ini bukan hanya soal sapaan antara elit. Ini tentang harapan. Sebuah harapan akan kedewasaan politik yang mulai tumbuh, tentang potensi untuk saling memahami, dan bukan terus menerus bersitegang. Banyak masyarakat, khususnya generasi muda, mulai merindukan politik yang tidak hanya soal kekuasaan, tetapi juga tentang nilai, warisan sejarah, dan visi masa depan yang terbangun di atas pondasi Pancasila yang inklusif.

Apalagi, jika kita tarik lebih dalam, Hari Lahir Pancasila sejatinya adalah momentum refleksi bersama. Dalam semangat itulah, pertemuan antara Gibran dan Megawati mendapat tempat istimewa di hati rakyat. Mereka bukan hanya mewakili individu-individu dengan riwayat panjang, tetapi simbol dua arah dalam politik Indonesia: yang satu adalah penjaga ideologis partai warisan Bung Karno, dan yang satu lagi adalah representasi dari poros baru kekuasaan yang lahir dari persilangan pengaruh Jokowi dan Prabowo.

Dari sudut pandang analisis politik, momen ini patut diperhitungkan sebagai sinyal positif bagi stabilitas politik ke depan. Di tengah bayang-bayang fragmentasi elite pasca Pemilu dan dinamika pembentukan pemerintahan baru, gestur kecil seperti ini dapat memupuk kepercayaan publik bahwa para pemimpin masih dapat saling menghormati, saling bicara, dan lebih penting lagi—saling memaafkan. Bagi Presiden terpilih Prabowo, ini juga bisa menjadi momentum awal untuk menyatukan kekuatan nasional, terutama dari faksi yang sebelumnya bersikap kritis terhadap koalisinya.

Jika Megawati bisa membuka pintu komunikasi kembali, walau hanya sebatas kesantunan dan sapaan ringan, maka bukan tidak mungkin akan ada ruang lebih luas bagi dialog lintas kubu. Terlebih lagi, Gibran yang saat ini menjabat Wakil Presiden tentu akan menjadi figur sentral dalam dinamika politik lima tahun ke depan. Hubungannya dengan Megawati akan turut menentukan bagaimana PDIP akan bersikap terhadap pemerintahan baru.

Momen ini juga bisa menjadi titik mula pemulihan hubungan antara PDIP dan keluarga Jokowi. Bukan rahasia lagi bahwa banyak pendukung PDIP yang kecewa atas pilihan Gibran di Pilpres lalu. Namun jika komunikasi terbuka, dan gestur-gestur seperti ini terus dirawat, bukan tidak mungkin luka itu akan perlahan sembuh. Politik Indonesia memerlukan lebih banyak momen seperti ini, di mana perbedaan tidak menjadi alasan untuk putus hubungan, tetapi justru menjadi pemicu untuk saling memahami.

Dari sisi psikologis massa, rakyat tentu merasa lega melihat wajah-wajah pemimpin bangsa yang bisa duduk bersama, berdampingan dalam suasana sakral kenegaraan. Banyak yang mengaku merasa optimis kembali setelah melihat gestur tersebut. Rasa adem itu nyata. Rasa damai itu tulus. Di tengah gempuran isu-isu keras seperti konflik partai, perseteruan elite, hingga polarisasi masyarakat, kehadiran Gibran dan Megawati dalam satu frame nasionalisme membawa harapan akan masa depan Indonesia yang lebih inklusif dan rukun.

Tak sedikit yang kemudian mendoakan agar pertemuan itu bukan yang terakhir. Banyak pula yang berharap bahwa ini bisa menjadi pembuka jalan untuk silaturahmi-silaturahmi politik lainnya, terutama antar tokoh bangsa yang pernah memiliki kontribusi besar dalam pembangunan negeri.

Dalam konteks makro, peristiwa ini dapat dilihat sebagai bentuk soft diplomacy antar tokoh nasional. Ketika hubungan formal di level organisasi atau partai politik sedang tidak harmonis, maka pendekatan personal bisa menjadi jembatan. Gibran telah menunjukkan bahwa ia tidak membawa dendam politik, tidak menutup pintu kepada para pendahulu yang pernah berjasa dalam kariernya, termasuk Megawati.

Sebaliknya, Megawati yang selama ini dikenal tegas terhadap pengkhianatan politik, ternyata tetap memberi ruang untuk etika, sopan santun, dan penghargaan terhadap institusi negara yang sedang Gibran emban. Ini adalah contoh bahwa dalam politik, tidak semua harus berujung permusuhan. Kadang, justru ketulusan untuk menyapa lebih keras gaungnya daripada pidato-pidato panjang.

Kesimpulannya, Hari Lahir Pancasila tahun ini bukan hanya tentang upacara, simbol, atau kehadiran para tokoh. Ia menjadi ruang batin nasional, tempat luka-luka politik dicoba untuk dijahit kembali dengan benang silaturahmi. Rakyat Indonesia menyambut hangat pertemuan Gibran dan Megawati, bukan hanya karena peristiwa itu sendiri, tetapi karena maknanya yang jauh lebih luas: bahwa Indonesia selalu punya harapan, selalu punya ruang untuk menyatu, dan selalu punya cara untuk bangkit bersama. Sungguh, hari itu bukan hanya kelahiran Pancasila, tetapi juga kelahiran harapan baru politik Indonesia yang lebih bijak, lebih manusiawi, dan lebih membumi.

 

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow