ANIES MASUK BURSA CAKETUM PPP: JALAN BARU ATAU SALAH LANGKAH?

ANIES MASUK BURSA CAKETUM PPP: JALAN BARU ATAU SALAH LANGKAH?

ANIES MASUK BURSA CAKETUM PPP: JALAN BARU ATAU SALAH LANGKAH?
ANIES MASUK BURSA CAKETUM PPP: JALAN BARU ATAU SALAH LANGKAH?

Isu masuknya Anies Baswedan ke dalam bursa calon ketua umum (caketum) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjelang muktamar partai yang direncanakan digelar Agustus atau September 2025 memunculkan dinamika baru dalam dunia politik Indonesia. Munculnya nama Anies dalam bursa ini tak hanya menambah daftar tokoh yang dipertimbangkan, tapi juga memantik pertanyaan mendalam tentang arah masa depan PPP, serta positioning politik Anies Baswedan sendiri yang dalam beberapa tahun terakhir kerap dicap sebagai gelandangan politik.

Juru Bicara DPP PPP, Usman M Tokan, memberikan pernyataan yang cukup hati-hati dan diplomatis. Ia menyebut bahwa partainya tidak ingin ada nama-nama eksternal yang dimasukkan dalam bursa calon tanpa terlebih dahulu ada komunikasi yang konkret dengan internal partai. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa dasar. Pengalaman politik Indonesia kerap menyajikan drama ketika sosok dari luar diangkat menjadi simbol atau harapan baru suatu partai, namun kemudian mundur, menolak, atau bahkan justru menjauh dari partai yang sempat membesarkannya.

Usman mencontohkan bagaimana nama-nama seperti mantan KSAD Dudung Abdurachman, Menteri Sosial Saifullah Yusuf, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, dan eks Menteri Perdagangan Agus Suparmanto sempat disebut-sebut masuk dalam bursa caketum, namun semuanya satu per satu menyatakan ketidaksiapannya. Ada yang tidak tahu namanya masuk dalam daftar, ada yang terang-terangan menolak, dan ada pula yang merasa tidak sanggup memikul tanggung jawab besar sebagai pemimpin partai.

Dalam konteks ini, nama Anies Baswedan masuk seperti sebuah kejutan sekaligus tantangan. DPW DKI Jakarta, salah satu struktur partai di tingkat wilayah yang cukup strategis, secara terbuka menyatakan bahwa ada obrolan positif di kalangan kader tentang kemungkinan Anies maju sebagai calon ketua umum. Bahkan disebutkan, jika Anies menyatakan kesiapannya, maka akan ada kader yang dengan antusias mendorong dan mendukung pencalonan mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Namun, pertanyaannya kini menjadi lebih kompleks: apakah benar PPP tidak salah langkah jika memilih Anies sebagai calon ketua umum? Dan lebih jauh lagi, apakah Anies sendiri siap secara politik dan ideologis untuk memimpin partai berlambang ka’bah ini, yang memiliki akar kuat dalam tradisi Islam politik dan sejarah panjang perjuangan umat?

Anies Baswedan, harus diakui, merupakan figur intelektual dan orator ulung yang mampu memainkan narasi besar tentang perubahan, moralitas, dan keislaman modern. Di sisi lain, rekam jejaknya dalam satu dekade terakhir menunjukkan bahwa ia sering berpindah-pindah kendaraan politik. Dari dukungan Partai Gerindra saat mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI, kemudian diusung Partai NasDem bersama PKS dan Demokrat dalam Pilpres 2024, hingga kini tak memiliki kendaraan politik yang benar-benar permanen. Inilah yang membuat banyak pengamat menyematkan julukan “gelandangan politik” kepadanya — seseorang yang punya daya tarik massa, tetapi selalu menumpang di rumah orang lain.

Masuknya Anies ke dalam bursa caketum PPP bisa dilihat dari dua sisi. Dari sisi strategis, langkah ini berpotensi menghidupkan kembali gairah politik PPP yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami degradasi elektoral. Dalam Pemilu 2024, PPP bahkan gagal menembus ambang batas parlemen secara nasional. Membawa Anies sebagai tokoh nasional yang dikenal luas bisa menjadi strategi elektabilitas instan. Sosok Anies juga masih memiliki magnet di kalangan pemilih urban Muslim, kelompok intelektual muda, dan sebagian masyarakat konservatif yang selama ini merasa terwakili oleh gaya narasi politik moral dan keumatan yang Anies bangun.

Namun dari sisi internal, munculnya nama Anies juga bisa memicu gesekan keras. PPP selama ini dikenal sebagai partai yang sangat menjunjung tinggi loyalitas kader. Kultur organisasi di tubuh PPP bukanlah kultur yang terbuka sepenuhnya terhadap “orang luar” untuk langsung memimpin. Partai ini memiliki banyak tokoh senior, jaringan ulama, serta kepengurusan struktural yang menuntut proses kaderisasi bertahap. Jika Anies masuk dan langsung ditarik ke puncak kepemimpinan tanpa pernah menjadi bagian dari proses internal, bukan tidak mungkin akan terjadi resistensi dari dalam tubuh partai. Kader yang selama ini berjuang dari bawah bisa merasa terkhianati, merasa tidak dihargai prosesnya, dan akhirnya melemahkan soliditas partai sendiri.

Sementara itu, dari perspektif ideologis, Anies dikenal sebagai sosok yang cenderung mengambil posisi sebagai penghubung antara Islam politik dan Islam modernis. Meski demikian, PPP memiliki basis tradisional yang kuat dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), dan selama ini menyandang identitas Islam tradisionalis yang berbasis pesantren. Anies, yang lebih dekat ke segmentasi Islam perkotaan dan memiliki gaya teknokratik-liberal dalam kebijakan, bisa saja dianggap kurang menyatu dengan akar ideologis PPP. Ini bisa berujung pada fragmentasi internal yang berbahaya bagi kelangsungan partai jika tidak dikelola dengan hati-hati.

Jika PPP benar-benar mendorong Anies sebagai ketua umum dan ia terpilih, maka partai harus bersiap menata ulang struktur dan narasi politiknya. Mungkin ini adalah saat yang tepat bagi PPP untuk melakukan rebranding menyeluruh — dari partai warisan Orde Baru dan Islam tradisional menjadi partai Islam yang lebih modern, progresif, dan populis. Namun, itu pun bukan tugas mudah. Anies harus mampu meyakinkan seluruh lapisan partai bahwa ia datang bukan sebagai penumpang gelap, melainkan sebagai pemimpin baru yang siap bekerja dari dalam, bukan sekadar meminjam nama besar partai demi ambisi pribadi.

Jika Anies tidak terpilih atau tidak jadi maju, pertanyaan berikutnya adalah: apakah ia akan tetap bersama PPP? Jubir PPP, Usman M Tokan, secara halus menegaskan bahwa partainya akan tetap menyambut Anies dengan senang hati untuk membangun bersama, bahkan jika nanti tidak terpilih sebagai ketua umum. Namun, pernyataan ini juga bisa dibaca sebagai antisipasi jika Anies hanya “singgah sebentar” lalu pergi begitu saja seperti yang ia lakukan di berbagai partai sebelumnya. PPP tampaknya belajar dari pengalaman partai lain yang menjadi kendaraan sementara bagi figur besar, tapi tak memperoleh nilai strategis jangka panjang.

Dalam kalkulasi politik yang realistis, PPP memang sedang dalam kondisi sulit. Partai ini membutuhkan tokoh besar untuk membangkitkan citra dan kekuatan elektoralnya. Tapi risiko terbesar adalah jika tokoh itu justru memperbesar polarisasi internal, menciptakan friksi antar faksi, dan tidak benar-benar membangun partai dari dalam. Anies bisa menjadi obat atau bisa juga menjadi racun, tergantung bagaimana proses politik dan komunikasi yang dibangun ke depan.

Jika ia bersedia melakukan konsolidasi dengan ulama partai, bersedia mengikuti mekanisme organisasi, tidak aji mumpung, serta menampilkan komitmen jangka panjang kepada PPP, maka ada peluang besar bahwa Anies akan diterima dan bahkan mampu membawa PPP ke babak baru sebagai partai Islam modern yang tidak hanya kuat di basis massa, tapi juga relevan secara kebijakan nasional. Namun jika ia hanya datang dengan orientasi pencitraan dan memperalat partai sebagai batu loncatan menuju kontestasi berikutnya, maka PPP justru akan mengalami kemunduran yang lebih dalam lagi.

Dalam politik, tidak ada langkah yang benar atau salah secara mutlak. Semua tergantung konteks, kesiapan internal, dan strategi jangka panjang. Bagi PPP, ini adalah momen refleksi: apakah akan bertaruh besar dengan seorang “gelandangan politik” yang masih punya pesona, atau tetap menjaga akar dengan menyiapkan kader sendiri yang mungkin tidak setenar Anies, tapi lebih bisa diterima oleh seluruh lapisan partai.

Satu hal yang pasti: waktu menuju muktamar masih tersisa. Semua tergantung bagaimana komunikasi dibangun, bagaimana Anies membuktikan bahwa ia tidak hanya datang menumpang, dan bagaimana PPP sendiri memandang masa depannya — sebagai partai warisan yang ingin bertahan, atau sebagai partai masa depan yang siap berubah.

 

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow